Ad Code

Responsive Advertisement

Manusia bagian dan bumi keseluruhan

Komposisi manusia terdiri dari 23% karbon, 2,6% nitrogen, 1,4% kalsium, 1,1% fosfor, dengan kisaran tiga lusin unsur lain dengan jumlah amat kecil. Sedangkan bagian basar komposisi tsb adalah 10% hidrogen dan 61% oksigen: yaitu kombinasi molekuler unik yang selama ini kita sebut “air”.

Dan bumi? Sekitar 70% di dalamnya digenangi dan menyimpan air. Makanya kita memanggil bumi, “Duh kekasihku bertubuh biru.” (Tapi air tidak berwarna biru!) [Catatan: ini bukan hasil quick count dari lembaga survei ilegal; melainkan data tsb dikutip dari laporan penelitian para saintis, di antaranya adalah geolog, hidronolog, ekolog, oseanolog, biolog, dan kumpolog yang bergabung secara bohemian di Laboratorium semi-resmi dan terintegrasi milik Arek Gudang].

Bukan suatu pernujuman dan okultisme apabila para bijak bestari menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari bumi/Bumi. Kata “bagian” menunjukkan “berada di dalam” sekaligus “hanya (se)bagian dari keseluruhan”. Dalam arti semacam ini, klaim bahwa manusia memiliki otoritas mutlak yang otoriter menjadi nonsens.

Lalu dalam artian yang bagaimana istilah khalifah fi al-ardh dapat dipahami? Serahkan itu pada para agamawan yang juga semestinya adalah seorang ekolog, karena itu bahasa kitab suci, dan saintis yang tergabung dalam proyek laboratorium Arek Gudang tidak ada satu pun yang mengaku sebagai ahli religi, apalagi mengaku religius.

Kembali lagi ke “air”. Makanya, itulah kenapa dalam tradisi spiritual dan agama-agama (atau juga secara doktrinal), air benar-benar memiliki nilai signifikan. Malangnya, semenjak revolusi industri hingga kini, napas bumi yaitu hutan (dan laut) yang secara alamiah mendistribusikan hidrologi secara mesra dari rindu ke perjumpaan, menjadi terganggu, oleh ulah diri kita sendiri, manusia.

Siapakah manusia itu? Jika kita kembali ke pernyataan para bijak bestari: manusia adalah bagian dari bumi, anak kandung bumi, yang diasuh oleh jaringan ekosistem global jangka panjang. Tetapi nyatanya, manusia kini durhaka kepada ibunya yang selama ini mengasuhnya, dan manusia nyaris membunuh ibu kandungnya.

Pertanyaan saya bukan “ke manakah arah sejarah (ibu) bumi melangkah ke depan?” melainkan “ke manakah arah sejarah manusia dapat berkelanjutan?”[]

26/4/2019



Posting Komentar

0 Komentar