Ad Code

Responsive Advertisement

Seminar, sertifikat, kudapan, dan penyisihan kita terhadap pengetahuan

Kalau mencermati pamflet-pamflet seminar, lokakarya, dan semisalnya yang tersebar di lini sosial media, kita dapati sesuatu yang ganjil dan ganjal. Betapa tidak, di dalamnya tertulis bahwa fasilitas yang didapat ada tiga, yaitu (a) sertifikat, (b) minum dan kudapan, serta (c) wawasan dan ilmu.

Entri a, b, dan c kutulis secara berurutan dan beruntutan. Artinya, orientasi utama kita dalam menghadiri seminar, lokakarya, dan semisalnya adalah (a) sertifikat. Adalah ironi, apabila aku bertanya satu per satu kepada para panitia yang menyelenggarakan, “Kenapa sih Anda harus menyediakan sertifikat? Bukankah itu tidak penting?” mereka akan gagap dan melontarkan jawaban yang menggelikan, “Loh itu penting, audiens harus difasilitasi sertifikat. Kalau tanpa sertifikat, kemungkinan besar audiensnya sedikit, bahkan bisa jadi nihil.”

Tentu saja aku harus menggerutu dalam batin, “Menjijikkan.” Padahal sertifikat itu (hanyalah) sebagai tanda bahwa Anda yang mendapatkannya adalah orang yang telah memahami apa yang disampaikan mengenai tema dari seminar atau lokakarya tersebut.

Aku berkeyakinan bahwa apabila setiap audiens yang keluar dari auditorium atau gedung seminar/lokarkarya tersebut difilter dan/atau diuji mengenai penguasaannya atas tema yang baru saja ia datangi, maka hanya satu dari sepuluh oranglah yang dapat lulus (bukan lolos) dari ujian tersebut. Selebihnya hanyalah datang sebagai hiasan dan mengornamentasi gedung agar tampak riuh-rendah dengan berlagak patung dan fokus menghadap gawainya masing-masing.

Dan sebaliknya, jika aku bertanya pada para audiens, “Apakah Anda tidak berkehendak datang di seminar yang tidak menyediakan sertifikat?” Jawabannya adalah ia akan menggelengkan kepala. Kenapa? Karena baginya justru sertifikat itulah yang ia cari.

Untuk yang poin b, ada seseorang yang mengajak temannya, “Ayo kita datang. Dapat sertifikat loh!” Temannya malah menyergah, “Ada jajannya nggak sih?” Inilah tingkat inferioritas kita, sudah di bawah kelaziman. Mental kita yang mulia menjelma monster lapar dan konglomerat melarat. Pikiran dan tekat kita sudah amblas pada titik nadir yang paling rendah.

Sedangkan tentang poin c (ilmu dan wawasan), malah tidak sama sekali disinggung, diantusiasmekan, dan dijadikan bahan rasan-rasan. Betapa kita memang menjadi primitif di tengah-tengah era kemodernan dan kosmopolitan. Oleh karenanya, marilah kita benahi pola berpikir dan tatanan (pe)nilai(an) kita terhadap segala sesuatu.

17/10/2019



Posting Komentar

0 Komentar