Ad Code

Responsive Advertisement

Pasca Covid-19: Normal Lama, Normal Baru, dan Lelang Keperjakaan

Alih-alih pasca Covid-19, malah sebenarnya Covid-19 itu sendiri sudah mendobrak kehidupan “normal lama” kita. Kita tidak perlu “keadaan pasca” untuk menjalani “normal baru”, karena bersamaan hadirnya Covid-19, seluruh “normal lama” dirombak habis-habisan. [Menurutku normal baru adalah sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin, aneh, anomali, dan konyol, tetapi kini harus dianggap mungkin, riil, dan lazim dilakukan.]

Siapa di antara kita yang tidak bangga untuk disebut “sarjanawan daring”? Aku sungguh bangga [sekalipun aku bukan sarjana]. Bagiku itu ialah momen khas yang monumental—dan harus dicatat di buku kenangan kehidupan.  Peristiwa itu bagiku melebihi keistimewaan seseorang yang lahir di tahun kabisat, pada 29 Februari. Waow betapa kerennya. Tapi tentu saja lebih keren “sarjanawan daring” karena kabisat bisa dipastikan 4 tahun sekali ketimbang pandemi. Memang, sejauh ini, hanya berkat pandemi Covid-19, perbendaharaan peradaban kita menginvensi term “sarjanawan daring”.

Kita merayakan sesuatu yang sungguh amat mustahil bisa dirayakan baik ketika pra maupun pasca Covid-19. Betapa tidak, kapan lagi kita bisa sidang skripsi dan wisuda melalui aplikasi, betapa asyiknya kita disulap menjadi homo digitalis yang keok tak berkutik ketika tak ada kuota, Wi-Fi[nya tetangga], atau sinyal internet. Seremoni yang sebelumnya mengharuskan manusia sebagai Ada-yang-hadir telah boleh terdigitalisasi.

Dalam hal ini, memang, ada ‘lompatan kuantum’ yang melemparkan kita—di tengah kepatuhan terhadap PSBB—untuk cukup riang dengan melihat tergelincirnya mentari senja melalui platform YouTube dan membuat kita bisa menikmati—di tengah ketaatan atas physical distancing—kecupan kekasih hanya melalui emotikon WhatsApp. Eksentrik, kan? Sesuatu yang membawa kita pada kanopi peradaban ganjil.

Normal baru kita adalah sesuatu yang ganjil, memang, tapi begitulah sesuatu-yang-baru. Solidaritas masyarakat dalam menghadapi pandemi ini memang mencengangkan. Semangat gotong-royong mencerminkan rekatnya pusar persaudaraan setanah air. Sehingga, aku menjadi tak heran kalau ada seorang perempuan yang melelang keperawanannya mulai harga dua miliar demi membantu masyarakat terdampak.

Teman-temanku, yang laki-laki, ketika membaca ini, pasti akan mulai membayangkan dan berspekulasi. Bukan untuk membeli keperawanannya, itu nonsens. Aku tahu, teman-temanku cukup melarat di angka rata-rata. Artinya, dalam tiga abad pun, ia takkan sempat mengumpulkan 2 miliar. Maksudku adalah bahwa mungkin mereka akan berangan-angan dan bergumam, “Apakah mungkin aku bisa melelang keperjakaanku?” ...

Waow! Itu bagiku adalah pertanyaan yang sangat filosofis, melampaui pertanyaan tentang arti dan tujuan hidup, bahkan akan menggeser rangking pertama pertanyaan mengenai ada-tidaknya Tuhan. Ingat, kawan! Apakah sumpah pocong yang akan menjadi indikator keperjakaan kalian? Selain itu, karena kita juga tidak sedang berada di masyarakat matriark.

Sarah mungkin sudah mengklarifikasi dan minta maaf bahwa ia khilaf. Begitulah tradisi para konten kreator dan selebgram. Tapi teman-temanku pasti tidak bisa memaafkan mengenai pelelangan keperjakaannya yang hanya bisa laku sebagai “sebuah kemungkinan teoretis” semata. Jadi tak lebih dari itu.

Sebagai suatu “potensi murni”, tak ada modalitas apa pun yang dapat mengantarainya untuk dapat teraktualisasi. Ia hanya ada sejauh pembayangan kita berjalan, tak lebih. Tapi, pandemi ini memang telah membawa kita jauh melampaui bayangan kita mengenai normal baru pasca Covid-19.

Tak mungkin kita membenarkan khayalan kita mengenai langgengnya solidaritas sosial di pasca Covid-19: yang kaya tetap hidup sebagaimana sebelumnya, begitu pula yang miskin. Dan tentunya tak ada lagi pelelangan keperawanan demi disumbangkan ke masyarakat terdampak, apalagi pelelangan keperjakaan, yang sepanjang sejarah Bumi digelar, itu konstan sekadar sebuah kemungkinan teoretis.

*21/5/2020



Posting Komentar

0 Komentar