Ad Code

Responsive Advertisement

Aku membayangkan khotbah jumat di masa depan

Aku membayangkan khotbah jumat di masa depan (entah kapan) menjadi menarik dan memikat antusiasme pendengarnya.

Andaikata khotib memulai khotbahnya dengan, “Dalam novel Dan Brown yang terakhir, Origin, ia mencandrakan tentang...” dan seterusnya ditarik ke penalaran keagamaan;

atau dengan, “Di laman Facebook, akhir-akhir ini para pesohor dan para punggawa kita sedang asyik mempercakapkan tentang...” dan seterusnya diseret ke diskursus keagamaan;

atau dengan, “Tadi pagi saya menonton film Skeleton Key (2005), ia menjelaskan bagaimana keyakinan meneguhkan realitas,...” dan seterusnya diarahkan ke fenomena mutakhir misalnya pirus-pirus kopit atau pirus lain dan diinfuskan point of view agama tmengenainya;

atau dengan, “Dalam film I Origins (2014), seorang ateis militan yang meyakini data dan bukti pada akhirnya didesak untuk melihat sesuatu-yang-lain yang takmungkin dan takenak bagi pandangan-dunianya,...” dan seterusnya dibawa pada bagaimana standpoint yang tepat agar jamaahnya menyikapi hal semacam itu;

atau dengan “Saya dan anak saya tadi malam menonton Minority Report (2002), yang diperankan oleh Tom Cruise, film apik yang membahas tentang kehendak bebas. Lalu kami berdua mempercakapkannya...” dan seterusnya sembari dielaborasi dengan nas-nas yang tersedia.

Bagiku itulah khotbah seorang sufi. Yapz, itulah khotib yang merupakan sufi (suka film) tulen. Tapi, rasa-rasanya, kita tidak mungkin membayangkan bahwa pembayanganku itu akan/boleh terwujud. Dan menurutku sendiri juga demikian. Sebab, kapasitas kita belum memungkinkan itu. Jika itu terjadi, kita akan berkomentar: itu aneh, mustahil, tabu, tidak relevan, sekuler, keluar dari batasan, tidak lazim, konyol, mudarat, dan sebangsa lainnya.

Tapi sebenarnya, kita tahu bahwa buku-buku khotbah tidak (atau belum[?]) ditulis dengan pembukaan dan pengelaborasian sedemikian. Kita tidak kaget dan heran dengan hal itu. Sirkulasinya tetap siklikal: bukukan khotbah, lalu khotbahkan buku. Terus-menerus laksana ular memakan ekornya sendiri. Kita perlu kemasan khotbah yang menarik, atau bisa dibilang “eksentrik” bagi kebiasaan kita yang stereotip alias klise ini.

Aku juga, dan teman-temanku, selama sempat menghadiri salat jumat, senantiasa datang ke masjid di akhir waktu dengan memegang sebatang rokok yang menyala. Sebat dulu sembari melamun, mumpung khotibnya masih khotbah. Itulah tradisi ketakreligiusan dan ketaksalehanku, dan teman-temanku mungkin, karena di saat khotbah yang harus didengarkan malah kami ngobrol atau melamun sembari sebat-an....

Kita belum sampai, atau mungkin takkan pernah sampai(?), pada titik di mana khotbah dikemas dan ditampilkan dengan berbeda dan dengan hal-hal baru di setiap minggunya. Padahal, di setiap harinya, “Matahari itu selalu baru”, kan?[]

19/6/2020



Posting Komentar

0 Komentar