Ad Code

Responsive Advertisement

Berkiblat pada The Beatles, Korsel, dan Antah Berantah

 

Aku punya seorang teman yang sangat berkiblat pada The Beatles. Temanku hobi bermain gitar. Ia jatuh cinta pada Beatles, mungkin, sejak mencuri dengar ibunya yang acap kali mendengar lagu-lagu Beatles. Itu bukan rahasia aneh.

Kalau aku kongkow sama temanku itu, pasti setiap perbincangannya berkisar pada Beatles: sejarah, karya-karya, bahkan ideologi para personilnya. Itu bagiku sih biasa saja, sekadar pengetahuan. Tapi tak berhenti di situ, ia juga kalau memegang gitar, pasti selalu menggenjreng lagu-lagu Beatles. Bahkan, ia sempat menciptakan lagu yang tidak jauh berbeda dengan soul of tone-nya Beatles.

Berkiblat mengalirkan air terjun inspirasi. Yah, lumrah. Itulah yang disebut berkiblat. Yang aneh itu kalau berkiblat sama Beatles tapi nggenjrengnya Taylor Swift atau Armada. Nggak kongruen. HmmZz.

Nah, teman-teman, ada sebuah negara yang di tengah-tengah pandemi kopit nentin ia tidak berkiblat pada Italia, Spanyol, dan India. Bahkan untuk yang terakhir malah digunakan sebagai alibi agar tidak dicontoh karena insiden kegagalannya. Si negara tersebut mendeklarasikan bahwa untuk menangani kopit nentin, ia menjadikan Korea Selatan sebagai the role of model alias patron/suri tauladan. YapzZz, si negara tersebut berkiblat pada Korsel.

Teman-teman tentu sejak awal tahun senantiasa mengawasi berita (inter)nasional di surat kabar, sehingga tidak asing bagaimana Korsel menangani kopit nentin ini. Korsel tidak melakukan lockdown (karantina total—sebagaimana Italia, Spanyol, dan India, untuk menyebut beberapa contoh), melainkan ia bermanuver secara cekatan. Semua elemen terlibat secara partisipitatif dengan tertib, disiplin, berkesadaran, dan tentunya bermoral.

[Memang akhir-akhir ini Korsel juga sedang kalang kabut, konsekuensi dari relaksasi pembatasan sosial dan fisik. Dan pastinya ia akan bersiaga memberlakukan senjata utamanya sebagaimana sebelumnya: tes PCR masif massal]. Nah, Korsel memang layak dijadikan patron oleh si negara tersebut. Mungkin Korsel seperti Beatles, bukan Led Zeppelin yang terlalu nyaring dan riff-riff-nya terlalu berisik.

Korsel itu lembut, santai, dan melodis, tidak mengganggu gerobak soto yang harus mengais nafkah untuk keluarga. Disiplin dan tertib tidak sinonim dengan kaku dan rigid, alih-alih larangan aneh dan tidak konsekuensial. Tapi anehnya, negara yang sengaja berkiblat pada Korsel tersebut malah sama sekali tidak tahu caranya menggenjreng lagu Beatles. Ini tentu sangat berbeda dengan temanku.

Apakah ini menunjukkan perbedaan antara bahwa temanku sungguh tahu arti dari “berkiblat”, sedangkan si negara tersebut benar-benar tidak tahu arti “berkiblat”? Tapi kalau aku jadi temanku, atau jadi negara itu, aku pasti malu untuk menyatakan bahwa aku berkiblat pada Beatles; karena aku takut ditanya, “Kau tahu John?” pasti aku akan menjumpai kebungkamanku... serta aku pasti akan punya aib karena setiap kali aku pegang gitar, aku selalu nggenjreng Bidadari Keseleo dan serumpunnya; dan jemariku tiba-tiba lunglai ketika aku disuruh memainkan Let It Be.

Aku sama sekali tidak berkiblat pada Beatles. Aku mending jujur meski terlihat bodoh; karena kejujuran menjauhkanku dari kebodohan yang berlipat-lipat.[]

1/6/2020



Posting Komentar

0 Komentar