Kalau aku sedang menyekrol Quora, aku pasti terhanyut dalam khazanah maha semesta. Tentu menyekrol Quora lebih terasa bookish ketimbang menyekrol Instagram, lebih-lebih Pinterest.
Dalam Quora, segala hal bersoal; segala hal adalah
persoalan; dan segala hal dipersoalkan. Mulai dari bagaimana gaya orasi Jokowi
sampai pengalaman apa yang paling tragis dengan mantan kekasih.
Tak habis-habis tercenung, dunia memang begini tua,
tapi terus-menerus mengalami peremajaan (rejuvenation), sehingga dalam
keberhinggaan kita yang mutlak, kita mensimsalabim “sesuatu” di luar kita;
sesuatu yang menghubungkan “Ada-kita” dengan sengkarut karikatur peristiwa,
huru-hara tanda baca, dan lintasan ruang-waktu mega antah-berantah yang bahkan
kita sendiri tak bisa mengendalikan kilas penampakannya.
Kita dijebak dalam luberan makna yang kita tenggak
hingga kita mabuk, dan kita berjalan terhuyung-huyung tanpa tahu aral dan arah.
Kita dikutuk untuk tersandera dan dikerumuni oleh entitas-entitas yang keberkaitannya
dengan diri kita hanya sepintas kilasan keberkaitannya dengan “apa-yang-hampir-diri
kita”: kuasi-diri.
Kita mereplikasi diri kita menjadi “sesuatu-yang-anu”.
Yah! sesuatu yang seperti itu, yang jauh itu, sesuatu yang sebenarnya
kita sedang mengidap miopia. Syahdan, ke manakah arah dan aral diri kita?
8/6/2020
0 Komentar