Aku ingin menyuguhkan bukan semacam the trolley problem, tetapi lebih sederhana dari itu, hanya saja kita amat tak menyadarinya—padahal kita makhluk berkesadaran, kan?
Aku tadi saat naik sepeda bersisipan dengan tetanggaku.
Tentu saja aku menyapanya dengan senyum. Bebalnya aku tak-sadar kalau sedang “memakai
masker dengan benar”. [Tentu aku tidak menganjurkan “agar tidak memakai masker”;
pembacaan Anda saja yang amat prematur.] Di sini problemanya muncul.
Ketika seorang warga negara mematuhi hukum (di era
kopit nentin ini salah satunya yaitu “memakai masker dengan benar” sebagaimana
protokol kopit nentin), maka ia akan menghadapi dilema moral dalam
perjumpaannya di ruang manusia. YapzZz, perjumpaan moral prima facie
hanya berlangsung di ruang manusia; bukan karena prosedur medis, protokol
kesehatan, maupun regulasi PSBB, melainkan hanya dan hanya pada standpoint
moral sosial kita.
Ketika seseorang melepas atau membuka sedikit saja
maskernya, ia melanggar hukum. Tapi ketika ia melempar senyum, tentu saja
terbungkus oleh masker—karena “memakai masker dengan benar”, dan sialnya,
selain karena orang yang ia sapa tidak punya indra keenam untuk dapat tembus
pandang mengintip apa yang bergerak di balik masker, juga karena nurani manusia
Indonesia yang tidak punya sistem tutur sapa tanpa senyum.
Di balik masker kita, jangan-jangan orang menuduh kita
sedang mencureng. Tak salah juga tuduhan orang tersebut. Yang salah: apa salah
orang tersebut sehingga kita mencurengi? Pada saat itu juga, kita di ambang
polaritas moral dan hukum. Tentu aku memilih tetap tak membuka masker dan tak
perlu melempar senyum, mungkin karena aku hanya tahu kalau hukum itu lebih
mengerikan ketimbang kecamuk nuraniku.
HmmZzz. Itulah aku: makhluk teks tertulis yang sunyi
suara nurani.
Suatu ketika aku tak punya senyum lagi yang harus
dilemparkan karena, mungkin, kelak, silaturahmi dan tutur sapa boleh dan hanya
boleh berlangsung di ruang virtual, di mana kita dapat menggantikannya dengan
simbol mentah emotikon yang penuh dengan pretensi dan hipokrisi. Ini(kah) the
new normal kita...[?]
2/6/2020
0 Komentar