Kegoblokanku yang baru adalah ketika aku dan temanku pergi ke tenda rapid test (yang menggunakan alat deteksi antibodi). Setelah kami berdua dites, hasilku non-reaktif dan temanku reaktif. Kemudian aku merayakan hasil non-reaktif itu dengan penuh kegirangan dan menyudutkan temanku yang reaktif.
Lalu aku mengambil sikap untuk waspada terhadap gerak-gerik
dan semburan droplet temanku. Bahkan, yang mendungukanku berkali lipat adalah
aku mengkhotbahkan dan menjadikannya bahan rasan-rasan ke grup-grup WhatsApp
bahwa kita semua harus jaga pertemanan dengan si fulan yang reaktif. Ini
bebalnya minta ampun.
Hasil reaktif rapid test (tes antibodi) malah
kujadikan jentera stigma dan aib adiluhung. Padahal, kalau kegoblokanku ini
tidak ghuluw (kegoblokan yang berlebih-lebihan), di era informasi bisa
dikunyah di mana pun, aku seharusnya sudah tahu sejak bulan Maret bahwa
kereaktifan hasil rapid test antibodi sama sekali tidak punya otoritas
secuil pun untuk mengklaim bahwa si fulan tercium bau korona—apalagi
menstigmakannya sebagai aib. Sama sekali tidak!
Ini sudah terhitung tiga bulan dari Maret, Ngga,
kegoblokanmu kok mundur di tahun lalu? Salah seorang peneliti biomolekuler,
tiga bulan lalu, menyatakan bahwa rapid test dengan alat deteksi
antibodi ini memang cara yang murah meriah untuk studi epidemiologi [Tentunya
aku langsung membayangkan seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang
mengerjakan penelitian skripsinya.]
Katanya, tiga bulan lalu, “Indonesia ini seolah sedang melakukan
penelitian skala besar menggunakan tes antibodi yang belum pernah digunakan di
dunia (di tengah-tengah pandemi ini).”
Kecamuk wabah yang menular ini memang mendesak kita
untuk melakukan tes cepat (rapid test), tapi bukan tes cepat dengan alat
deteksi antibodi. Korsel yang menjadi patron mengatasi kopit nentin memang
menggunakan pendekatan rapid test tapi bukan tes antibodi, melainkan rapid
test on PCR test. Dan tentu saja kegoblokanku ini amat hina sehingga
bisa-bisanya aku menyikapi temanku yang reaktif tadi langsung sebagai pusaran
wabah dan gumpalan aib yang harus kucerca dan kutinggalkan tunggang-langgang.
Padahal, tinggat keakurasian alat tes antibodi adalah 70% salah (mbeleset).
Sisanya, ketepatan 30% tsb yang menjadi peluru untuk menspidol merah temanku
itu, menunjukkan bahwa selama aku hidup, wawasan dan kedewasaanku masih belum
sampai di 31%. Hati-hati, banyak belajarlah, jangan mereplikasi kegoblokanku![]
4/6/2020
0 Komentar