Akhir-akhir ini aku menekuni bacaanku pada film-film yang sudah bertahun-tahun lalu kukoleksi—semacam iterasi. Walakin, iterasi ama sekali tidak berarti “takada yang-baru”, melainkan memperbarui yang lalu.
Meluangkan waktu
untuk membaca film-film di musim WFH dan WFMboh ini memang sangat
menyehatkan dan juga menginfuskan imunitas psikis kita. Tentu saja khususnya
untuk film-film yang bergizi, ya. Salah satunya film yang berjudul Mr. Nobody—sebuah
film yang telah kukhatamkan lima tahun lalu. Tapi nyatanya, karena hari ini aku
mengulang pembacaan atasnya, alhasil aku sadar bahwa aku belum benar-benar bisa
merasa telah mengkhatamkannya.
Mr. Nobody ini
film sci-fi dengan gizi yang tinggi. Menurut pembacaanku, bertolak dari
premis butterfly effect dan parallel multiverse, ia mengajak kita
untuk taktuntas menyelesaikan kecemasan kita tentang “selanjutnya apa?”—pertanyaan
yang senantiasa menyorotkan proyeksi kita akan yang-akan. Ini sangat
e(k)s(ist)ensial sekali.
Kita tahu bahwa
sains mutakhir mendalilkan bahwa satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian,
yang artinya ialah realitas menghamparkan segenap kemungkinan takterhingga.
Anehnya, kemungkinan takterhingga ini seolah-olah tetap saja berjangkar pada “jalur-jalur
kepastian” tertentu yang mendeterminasinya. Tapi bukan determinasi yang
fatalistik ya, melainkan probabilistik.
Hidup kita memang
bergumul dengan keputusan-keputusan. Sehingga setiap saatnya kita dihadang oleh
pilihan-pilihan. Kita acap kali tidak sadar kalau pilihan-pilihan tersebut
merupakan “rintangan raksasa” bagi kita. Di dalam satu pilihan ada
sub-subpilihan lagi. Di lain pilihan juga ada sub-subnya lagi, terus-menerus, ad
infinitum.
Mengapa aku
menyebut pilihan sebagai “rintangan raksasa”? Karena ia adalah hal terpenting
dan terberat, yang jika diambil, kita mutlak buta untuk melihat mengenai “selanjutnya
apa”. Inilah misteri, njelimet pol pokoknya.
Mr. Nobody adalah
simulasi kaleidoskopis terhadap satu subjek yang dikepung oleh berbagai
pilihan, sub-subpilihan, dan segenap kompleksitasnya. Asal-muasal dari
kecemasan adalah yang-akan, sesuatu yang belum benar-benar menyibakkan dirinya,
samar-samar, bahkan jejaknya hanya lintasan kemungkinan: itulah yang kita sebut
sebagai keganjilan, sesuatu yang kuasi-familiar, “kayaknya sih iya, tapi kok...”
Nah di situlah problemnya, problem konsekuensi dan sekuel-sekuel kelanjutan
dari “aku-yang-selanjutnya-apa”.
Untuk menghindar
dari “rintangan raksasa” tersebut memang hanya ada satu jalan. Kalau kita
pernah khusyuk dalam “bermain catur”, kita pernah dihadapkan dalam situasi “paksaan
untuk tetap melangkah”. Maksudnya, bahwa posisi dan taktik terbaik pada saat
itu, menurut Anda harusnya, hanyalah dengan “tidak melangkah”.
Itu dalam catur disebut Zugzwang: satu-satunya cara untuk dapat melangkah adalah dengan tidak mengambil langkah. Tapi, mana boleh bermain catur seperti itu? Kita dipaksa terus memilih, melangkah, sembari mener(o)ka tentang “selanjutnya apa”. Lagian, kalau kita melakukan Zugzwang, bukankah itu juga merupakan suatu pilihan, suatu langkah, yang akan membawa kita pada “selanjutnya apa”, dan menyeret kita pada beragam “entah apa” ad infinitum?
25/7/2020
0 Komentar