Ad Code

Responsive Advertisement

Seri TV Dark, simplifikasi ending, dan inspirasi fundamental

Aku pribadi amat suka dengan film atau seri TV yang hingga ending pun ia tak memberikan jawaban tunggal, atau bahkan tidak memberikan jawaban sama sekali, melainkan membiarkan penonton untuk mencari-cari sendiri jawabannya dengan cara membangun ulang imajinasi dan kerapuhan memorinya untuk menjadi sebuah narasi yang kukuh dan koheren.

Salah satu seri TV yang kusuka adalah Dark: kece, kompleks, dan mengaktifkan bukan hanya pikiran penontonnya, melainkan juga ingatan ringkih penontonnya. Sebuah film yang rumit selalu pantas menjadi subjek pembahasan karena ia meninggalkan banyak berkas misteri untuk diselidiki sendiri oleh para penontonnya. Dengan kata lain, film/seri TV yang kece tidak mencekoki penontonnya dengan narasi tunggal yang otoritarian.

Seri TV Dark memang pantas menjadi subjek pembahasan, terlepas dari ending-nya yang amat buruk. Ending buruk yang kumaksud adalah karena memang endingnya tak bisa menjadi subjek bahasan, bahkan ia menutup segala kerumitan (bagi ingatan) yang telah disodorkan sejak mula.

Sungguh aku menyayangkan simplifikasi ending Dark. Dengan ending yang enteng dan simplifikatif tersebut, orang akan gampang mengentengkan Dark; orang hanya akan mampu melontarkan satu kalimat yang tak lebih panjang dari rambutnya. Itu menyebalkan! Hal inilah yang membuat Dark menjadi tidak kece.

Seharusnya, ending-nya dibawa ke situasi yang malah sangat rumit dan sophisticated, bukan malah menyodorkan penjelasan yang mencolok yang seolah-olah sedang mencekoki dan mengkhotbahi penontonnya.

Beruntunglah masih ada orang-orang yang bercekcok pikiran dan beradu ingatan tentang bagaimana awal mula dari mesin waktu atau buku atau kalung dan hal-hal yang bersangkutan dengan bootstrap paradox atau time loop. Hal itulah yang mendorong seseorang untuk melupakan ending-nya, ending yang terlalu ringan.

Sungguh, sebuah film yang bagus, menurutku, mesti melempar penonton ke labirin pikirannya sendiri, bukan malah mengajak penonton keluar dari labirin. Mungkin Anda akan mengeluh, “Lho itu tugas film untuk menjelaskan.” Menurutku tidak.

Sebagaimana tugas karya seni pada umumnya, tugas film hanyalah menampilkan dirinya sendiri, sementara tugas Andalah yang menafsirkan apa yang ia telah tampilkan. Di titik itulah film/seri TV menjadi tiket masuk untuk memberi Anda inspirasi paling fundamental, yakni tindak memahami dan menafsirkan yang dikerjakan oleh pikiran Anda, bukan inspirasi superfisial dan periferal, yakni pencekokan atau indoktrinasi pakem terhadap pikiran Anda sendiri.

20/8/2020

Posting Komentar

0 Komentar