Ad Code

Responsive Advertisement

Uang, followers, dan imajinasi kolektif atas suatu nilai

Sudah cukup lama kita tiba pada suatu titik di mana kita telah membentuk kesadaran majemuk baru bahwa nilai tukar mata uang kita kini benar-benar sangat imajiner.

Yah, kita sudah benar-benar mafhum bahwa uang merupakan hasil imajinasi kolektif umat manusia. Ia hanya ditopang oleh nilai imajiner bersama. Nilai memang harus selalu ditopang oleh kepercayaan dan kesalingpercayaan sehingga menghasilkan suatu imajinasi kolektif bahwa, “Ya, memang begitu!” “Memang sekian!” “Memang demikian!”

Kita menciptakannya dan terus mengafirmasi keberadaannya agar ia tetap bernilai secara konvensional. Kita tak lagi kesulitan untuk membayangkan bahwa dua juta followers instagram adalah sebuah nilai, sebuah nilai yang kita abstraksikan, kemudian kita afirmasi.

Kita melihat setumpuk followers sebagai onggokan emas, yang tentu saja memiliki nilai tukar yang setara baginya untuk kuganti dolar atau rupiah, misalnya, demi memasarkan produkku. Dengan demikian, satu snapchat menjadi sirkulasi ekonomi virtual yang (mungkin) bisa menghasut kesadaran majemuk kita.

Mengapa kita memercayai dan terus-menerus mengafirmasinya? Sebenarnya kita hidup di dalam dunia yang terus-menerus mempropaganda, memprovokasi, dan mengagitasi kita agar tetap terikat dalam kesadaran majemuk yang benar-benar semu dan imajiner, tapi sangat riil dan efektual.

Kita selalu sedang bersekongkol (sinonim dari “konspirasi”, entah mengapa lema ini kini sangat peyoratif) untuk mengabstraksikan suatu nilai khayali dan menganggukkan kepala secara serentak agar “suatu nilai” menjadi ada dan tetap terafirmasi keberadaannya.

Mungkin seseorang boleh membayangkan untuk tidak menganggukkan kepalanya, tetapi hanya di dunia yang ideal sajalah seseorang bisa menggelengkan kepalanya.

1/9/2020


Posting Komentar

0 Komentar