Pada musim dingin 2010 di Silicon Valley, Apple menambahkan fitur baru, sebuah kamera mungil di bagian depan iPhone. Kita menyangka ini hanyalah sekadar fitur aksesoristis, tapi ternyata dari fitur inilah sebuah “zaman baru” bertolak.
Dari situ, teknologi mulai bergerak merevolusi “identitas
manusia”, tepat pada sentralnya, “wajah”. Dengan fitur mungil itu manusia
memasuki kondisi ultramanusia. Wajah sebagai penanda primer sekaligus pakem
dari “aku” kini begitu lentur: bisa melar, bisa susut. Absurditas identitas
menjadi kokoh.
Dengan pelbagai perkakas yang tersedia di dalamnya,
kita mampu melakukan gerak ganda atas wajah, yaitu mendekonstruksi “yang-tak-kuinginkan”
dan merekonstruksi “apa-yang-kuinginkan”.
Di dalam rezim filter dan beragam fitur, kita
mengalih-wahanakan “identitas” kita yang baku dan beku pada kanvas yang dapat
menciptakan dan mencipratkan “diri-yang-baru”, semua mencair. Swafoto menjadi
ikhtiar utama manusia agar bisa mengklaim dirinya, “inilah Aku”, yang pada saat
bersamaan ia juga sedang kehilangan dirinya.
29/11/2020
0 Komentar