Aku ingin berbicara tentang infrastruktur dan suprastruktur. Saat ini kita merasa sulit untuk memahami dan membedakan antara infrastruktur dan suprastruktur.
Infrastruktur adalah satu atau beberapa komponen
memungkinkan adanya suprastruktur. Membangun jalan tol, jembatan, listrik,
aspal, dan sebagainya merupakan salah satu bentuk infrastruktur. Sementara itu,
suprastruktur, dalam sudut pandang Marxisme, merupakan hasil refleksi dari
sistem ekonomi yang melandasi masyarakat.
Bagiku, suprastruktur adalah sudut pandang yang
didasarkan pada kesadaran dan pengetahuan. Menjadi pengetahuan klise bahwa
infrastruktur harus menentukan suprastruktur. Aku kira tidak demikian.
Membangun jalan tol di sepanjang Pulau Jawa sayangnya
belum bisa menjamin masyarakat menjadi lebih pintar dari sebelumnya. Ekonomi
tidak dapat sepenuhnya menangani pengetahuan.
Dalam sebuah keluarga, tak pelak lagi, peran ayah
dalam masyarakat patriarki adalah mencari nafkah bagi keluarganya. Yapz, untuk
menyediakan pendidikan bagi anaknya, seorang ayah harus memperoleh uang untuk
biaya sekolah anaknya. Tapi, itu tidak benar-benar cukup.
Mendapat uang, sebagai infrastruktur, hanya dapat
mendukung sisi material. Kebanyakan ayah berpikir bahwa mencari nafkah untuk
keluarganya, terutama untuk anak-anaknya, adalah satu-satunya kewajiban yang
harus mereka lakukan.
Tentu ada kewajiban lain bagi ayah, yaitu mengasuh
anaknya secara batiniah, dimensi imaterial. Untuk melakukan itu tidak bisa
dengan uang, karena uang hanya membeli sisi materi, bukan imateri. Jadi,
sebagai calon ayah, Anda bukan hanya harus membangun infrastruktur, tetapi juga
suprastruktur, seperti kepedulian, keceriaan, kehangatan, kasih sayang,
keintiman, kebahagiaan, dan kompas penjelajahan. Infrastruktur dan
suprastruktur niscaya harus berjalan beriringan.
*26/12/2020
0 Komentar