Ad Code

Responsive Advertisement

Kampus Merdeka dan Jejak-Jejak Ketidakmerdekaan

Kampus Merdeka adalah satu frasa yang cukup mentereng yang digagas oleh Nadiem Makarim. Ia seolah-olah ingin mengembuskan angin segar bagi kepengapan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di kampus dan mengguyurkan hujan ke tanah kering yang selama ini ditanduskan oleh kemarau panjang. Kendati demikian, mari perhatikan ke mana asosiasi makna dan arah implementasinya.

Apakah Kampus Merdeka ingin bercerita mengenai beberapa masalah seperti penghalalan segala tindakan demi mendapat jabatan posisional? Pemberian gelar honoris causa demi menjaga perselingkuhan hangat antara intelektual dan politisi? Yang pastinya perselingkuhan itu didasari oleh cinta amplopisme juga.

Kampus boleh menerima orderan dari pemerintah bahwa “kau merdeka juga untuk menurut apa yang kukatakan”? Artinya mengkhianati objektivitas ilmu itu termasuk sejenis kemerdakaan. Kampus menjadi semacam Go-Food dan Go-Send untuk siap mengirim apa yang tuan perintahkan.

Ini sebuah tragedi tragis, bencana yang kita kira sebagai anugerah melimpah. Atau seperti juga skopusisasi jurnal tak peduli seimoral apa pun cara yang akan dilakukan. Itukah Kampus Merdeka? Tentu tidak, kan, kawan? Oke, mari kita tinjau dari sisi satunya.

Apakah gagasan Kampus Merdeka itu membungkam seorang mahasiswa dengan cara menskorsingnya karena melaporkan tindak korupsi yang terjadi di tentakel birokrasi? Atau kemerdekaan itu senada dengan pemersekusian atas sebuah kelompok mahasiswa yang ingin menyelenggarakan diskusi buku anu, diskusi tentang Papua, diskusi tentang sejarah G30S, diskusi tentang penembakan AD atas warga sipil yang tak bersalah, dan isu-isu sensitif semisalnya? Itukah Kampus Merdeka yang di dalamnya ketidakmerdekaan dipaksa untuk diupacarakan glamor-glamoran oleh kekuasaan?

Itu terang-benderang menampakkan contradictio in terminis. Mau dilempar ke mana pendidikan perguruan tinggi dan riset saintifiknya dengan jargon Kampus Merdeka? Betapa konyolnya ketika pertama kali segenap dunia mengumumkan untuk lock down (penguncian atas pelbagai gerakan, utamanya keluar-masuknya perjalanan internasional), tetapi malah Jokowi dengan gamblang (aku baca melalui Kompas Januari-Februari) mempromosikan “paket wisata”, merangsang turis asing agar tetap mengedarkan virus semaksimal mungkin.

Dengan ngototnya mereka mencampakkan pendapat epidemiolog, virolog, dan ahli medis mengenai kepastian Covid-19 yang akan meluluhlantakkan negeri ini. Betapa konyolnya ketika pembelian tes antibodi massal (yang kekuasaan salah pahami sebagai rapid test sebagaimana Jepang, Korsel, dan negara-negara lain gunakan), padahal tes antibodi tak digunakan oleh satu pun negara selain Indonesia. Ini adalah bukti ke-sok-an kekuasaan yang tidak melibatkan para ilmuwan dalam mengambil kebijakan dan keputusan—mengutip salah seorang ahli biomolekuler, Februari lalu.

Hemmzzz. Ada pendisiplinan dari kekuasaan agar para ilmuwan tetap tunduk dan patuh pada apa yang dikatakan bapak. Intervensi dan represi didudukkan di pendidikan dan ilmu pengetahuan kita. Pengiklanan atas nasi kucing yang di-brand-ambassador-i oleh Bapak Menteri sebagai ikon penangkal Covid-19 menggambarkan sudah seberkarat apa dunia sains kita.

Mitos-mitos tiba-tiba dimunculkan untuk mengonfrontasi logos. “Negara ini negara besar, tak mungkin Covid-19 akan menyerang kita,” menjadi semacam azimat yang harus dipanjatkan pagi dan sore, siang dan malam, agar kita benar-benar tidak terserang Covid-19. Tapi fakta menonjok muka kita, antisains menunjukkan bahwa kita benar-benar bermukim pada ketakhayulan yang disaintifikasi.

 Di mana posisi Kampus Merdeka pada saat itu, sehingga ia tidak bisa menyuarakan data dan faktanya? Tentu saja mereka, sivitas akademika, bukan sekadar bersuara, melainkan malah sudah berteriak lantang, kencang, lengking, dan nyaring, hanya saja kekuasaan mencegatnya, meredamnya, membungkamnya, dan bahkan memotong lidahnya.

Kebijakan tidak lagi didasarkan pada data, informasi, riset, dan pengetahuan aposteriori. Kekuasaan ini bukan sekadar melanggar hukum (yang hakikatnya di dalamnya kebebasan akademik dibentengi oleh beberapa pasal), melainkan immoral karena menghukum orang-orang yang sebenarnya sedang kebal hukum.

Peretasan akun medsos salah seorang epidemiolog UI hanya karena sikap kritisnya atas obat Covid-19 yang diluncurkan oleh Unair, BIN, dan AD menunjukkan penumpulan kritisisme, penumbangan jargon Kampus Merdeka, dan menjadi simbol dari sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh “kebodohan” kepada “ilmu pengetahuan”—penyerangan kedunguan atas kepakaran.

Sikap kekuasaan yang demikian banal dan binal itu pun menjalar ke dunia akademik itu sendiri. Kampus Merdeka memperbudak kritisisme agar tunduk pada apa yang rektorat firmankan. Sikap kritis seharusnya tetap dipelihara bukan hanya “ke-luar”, melainkan juga “ke-dalam”, kepada institusi di mana kita bertempat itu sendiri, sehingga tak ada lagi pemidanaan atas dosen yang berupaya bersikap kritis terhadap kebobrokan institusinya.

Ini sebenarnya lucu, tapi membuatku geram. Pendisiplinan pikiran menunjukkan bahwa kita dilarang punya pikiran berbeda; artinya sebenarnya kita diharamkan untuk punya pikiran sendiri, karena kita harus mengekor, membeo, menjiplak apa yang kekuasaan pikirkan.

Kita ini apa sih, kok harus dipinjami pikiran orang lain? Untuk pikiran pun kita belum becus, gini kok buru-buru mau dinobatkan sebagai negara maju. Boro-boro dinobatkan, kita ini sedang buru-buru dininabobokkan. Jika seperti ini, Kampus Merdeka rasanya seperti ... [elipsis]

21/12/2020



Posting Komentar

0 Komentar