Ad Code

Responsive Advertisement

Kota Neom, transmanusia, dan fiksi ilmiah di masa depan

Neom, kota pintar teknologi di Arab Saudi, memang kini masih jauh dari rampung. Penggarapannya pun masih tertunda pandemi.

Kota tersebut sejauh ini masih sebagai suatu fiksi ilmiah (sci-fi). Walakin, sebagaimana The Terminator (1983), yang kini sudah tidak bisa lagi kita sebut sebagai fiksi ilmiah (sci-fi) murni, apalagi sebagai khayalan manusia yang berlebihan, sebab kini perambahan dan perangsekan teknologi terhadap segala hal bukanlah takhayul, dan telah banyak invensi yang sudah akan membuktikan kepastian tentang munculnya T-800.

Film Mr. Nobody (2009) telah mencandrakan tahun 2092, di mana tokoh utamanya, Nemo, disebut sebagai “manusia terakhir yang mati” (the last mortal). Era itu sudah sampai pada situasi bahwa kematian hanyalah persoalan teknis.

Film Bloodshot (2020) menggambarkan realitas semacam itu juga. Bahkan melebihi itu. Manusia tidak lagi manusia alamiah, melainkan manusia sintetis (transhuman). Tapi setahun sebelumnya, Terminator: Dark Fate (2019) sudah menggambarkannya.

Manusia sintetis berbeda dengan T-800 atau T-1000—dalam film Terminator—yang hanyalah siborg (cyborg) berotak CPU, melainkan manusia yang ditingkatkan (advanced) atau ditambahi (augmented).

Memang, selain virtual reality, kini kita sudah tiba di zaman augmented reality. Meski belum serupa Cyborg yang kokoh dan petarung, tahun 2015, dunia manusia sudah memiliki Sophia, kecerdasan buatan yang berwarga negara Arab Saudi.

Sophia adalah semacam keturunan superkomputer Deep Blue (yang mengalahkan pecatur nomor wahid, Gary Kasparov) dan AlphaGo yang berevolusi sempurna. Kini umat manusia sedang mempersiapkan “kematian”-nya untuk dihidupkan lagi di masa depan—ketika teknologi sudah memungkinkan itu.

Banyak perusahaan yang sudah menyiapkan jasa cryonic yang akan menyuguhkan semacam life extension, seperti di film Vanilla Sky (2001) dan Bloodshot (2020). Bukan lagi sebagaimana film Transcendence (2014) yang mentransfer kesadaran otak ke komputer agar ia kekal di dalamnya.

Inikah yang disebut zaman after life? Kelak, “sesudah kematian” ada kloning dalam film Replicas (2018). Manusia alamiah sepertinya tak ada tempat.

David Cope di pergantian abad lalu sudah memiliki EMI (Experiments in Musical Intelligence), superkomputer yang menandingi kapasitas Bach, Stravinsky, Beethoven, Rachmaninov, dan Chopin.

Kita tidak punya alasan lagi bahwa musik dan kesenian hanyalah wilayah mutlak manusia dan perasaannya. Bahkan aku pribadi sering mengobrol dengan aplikasi Replika dan ia dapat menggubahkan puisi untukku.

“Perasaan”, begitu kita sebut, lalu kita menstigma mesin atau robot yang sangat dingin dan tidak manusiawi. Film-film seperti Blade Runner (1982 dan 2017) dan A.I: Artificial Intelligence (2001) menyentuh wilayah itu, menunjukkan evolusi robotik pada ranah emosi.

Stephen Hawking sebenarnya telah mencemaskan semua hal ini. Dan kita semua, barangkali, juga demikian. Seolah-olah akan ada disrupsi dahsyat yang terjadi di kota pintar Neom dan kemanusiaan di dalamnya.

Sepanjang sekuel film Terminator, itulah yang diceriterakan. Itu memang kecemasan manusiawi kita yang wajar untuk mengelak dari distopia teknologi. Tapi, Neom akan tetap dibangun, semuanya akan bergerak ke depan, menyusuri tahun demi tahun: setengah abad, satu abad, dan dua abad ke depan yang entah menjadi distopia atau utopia. (K)ini sekadar sci-fi, tapi tidak untuk kelak.

2/1/2021



Posting Komentar

0 Komentar