Benarkah realitas virtual benar-benar bisa menjadi tempat meruang bagi manusia? Akankah kita tidak lagi memerlukan situasi “tatap muka” dan keadaan “kontak fisik”?
Kita agaknya mesti sangsi dengan seseorang yang bisa
merasa “tertarik”, “suka”, apalagi “jatuh cinta” terhadap sesuatu/seseorang
tidak melalui “presentasi” (kehadiran), melainkan hanya melalui “representasi”.
Nyatanya, akhir-akhir ini kita bisa melakukan itu.
Kita nekat membeli sesuatu hanya dengan melihat representasi dari sesuatu. Kita
merasa tidak perlu lagi melihat kasatmata, menyentuh, mengendus, dan mendengar
barang yang hendak kita beli. Kita menaruh percaya pada deskripsi, sebuah
representasi yang diimani taken for granted. Itu terhadap barang, tetapi
apakah itu juga bisa berlaku terhadap orang?
Mungkinkah “jatuh cinta” diselenggarakan hanya melalui
representasi? Bisakah yang-virtual menggelinjangkan sebuah palung emosi ultim
yang sama sekali tidak mengharuskan seseorang “meruang” secara telanjang?
Padahal, menurut seorang neurosaintis, kontak telanjang person to person
merupakan prakondisi yang memantik sistem syaraf untuk melepas sejumlah
neurotransmiter dalam aktivitas penerjemahan atas “keberuangan” diri.
Hal itu mengkhawatirkan sekali apabila kita mengklaim
bisa “jatuh cinta” hanya melalui “representasi” yang sama sekali tidak bisa
memediasi “keberuangan” telanjang yang menjadi prakondisi keterikatan emosi.
Disposisi manusia (the disposition of human being) sebagai makhluk
sosial mesti berpancang pada sense of shared existence yang hanya bisa
dijangkarkan pada “keterlemparan-bersama-di-sana”, di sebuah perjumpaan
kemenyeluruhan yang utuh.
20/1/2021
0 Komentar