Ad Code

Responsive Advertisement

Fenomena ghosting dan ketimpangan hubungan

Baru-baru ini, fenomena gosting (ghosting) dengan lebih berisik muncul setelah Kaesang Pangarep, salah satu anak Jokowi yang menggosting pacarnya. Pengertian gosting adalah yang meninggalkan yang kedua tanpa alasan dan tujuan yang jelas dalam hubungan yang telah disepakati satu sama lain. Tindakan gosting sangat jelas merugikan yang terakhir. Meski demikian, tak bisa dipungkiri, aksi gosting itu membuat bejat pelakunya sendiri.

Suatu hubungan terjadi ketika dua orang mengikrarkan komitmen di antara mereka satu sama lain, berdasarkan makna yang jelas dan berbeda, yaitu hubungan interpersonal. Dalam tindakan gosting, pelakunya tidak dapat memahami dengan baik arti dasar dari hubungan tersebut sehingga pelaku (umumnya laki-laki) menganggap pasangannya sebagai barang yang dapat ditinggalkan begitu saja begitu ia merasa bosan (atau yang lain menyuruhnya pergi) dengan pasangannya.

Sebenarnya tidak hanya pelaku yang menganggap pasangannya sebagai sebuah barang, tapi si korban juga menganggap dirinya sebagai barang pasangannya. Cukup bisa dibuktikan bahwa si korban, ketika berada di situasi itu, justru merasa terjebak untuk terus-menerus menunggu si pelaku secara pasif.

Tindakan pasif menunjukkan bahwa si korban hanyalah barang si pelaku. Si korban kehilangan pemikiran kritisnya untuk mengaktifkan tinjauan terhadap masalah yang sebenarnya. Oleh karena itu, si korban menegaskan dirinya sebagai semata-mata harta yang harus pasif di hadapan pemiliknya, baik menunggu kembalinya si pemilik maupun membiarkan pemiliknya untuk pergi dengan bebas.

Segera setelah korban menganggap dirinya barang pasangannya, maka korban mengevaluasi, menilik-nilik, atau mempertimbangkan kembali dirinya sendiri, hanya dirinya sendiri. Cukup aneh bahwa pemahaman si korban tenggelam dalam kecenderungan menyalahkan diri sendiri.

 “Apa yang membuatnya tiba-tiba meninggalkanku? Apa salahku padanya? Mungkin salahku. Atau, pasti salahku? Apa aku sudah tidak cantik lagi di matanya? Apa dia tidak nyaman dengan? Kenapa aku tidak bisa terus membuatnya nyaman? Aku harus memperbaiki diri, memperbaiki perilaku, sikapku, dan sejenisnya” adalah beberapa pertanyaan dan ungkapan untuk menganggap dirinya sebagai sejenis barang, yang dapat dieksplorasi oleh yang melihatnya, yang berkunjung, dan kemudian ditinggalkan begitu saja.

Korban, karenanya, meletakkan semua kesalahan—yang dianggap korban menyebabkan pelaku gosting meninggalkannya—di pundaknya. Tidak diragukan lagi, semua itu karena dia menilai remeh dirinya sendiri. Peremehan diri dari korban terhadap dirinya sendiri mendekonstruksi keberadaannya sebagai subjek penuh dalam suatu hubungan. Begitu pula pelaku dalam melakukan gosting tidak bisa bersikap gentleman dalam menghadapi permasalahannya, yang disebabkan pula oleh sikap meremehkan dirinya sendiri. Dia berpikir bahwa dia tidak bisa menyelesaikan masalah dalam hubungannya dengan berani, sehingga dia mengambil cara pengecut dengan menjauhi, meninggalkan, melarikan diri, dan menelantarkan pasangannya.

Meremehkan dirinya sendiri sama artinya dengan merendahkan diri. Korban yang meremehkan dirinya sendiri akan sekaligus membuat dirinya menilai pelaku secara berlebihan. Ini adalah semacam glorifikasi si korban kepada pelakunya. Tentu saja, pada intinya korban tidak bisa menimbang-nimbang masalah secara adil. Korban, sebaliknya, tetap mengagungkan si pelaku, sebagai “tuannya yang tidak memiliki kesalahan”, karena semua kesalahan, menurut anggapan korban, hanya berasal dari korban—si korban gagal menimbang situasi secara adil.

Fenomena gosting menunjukkan bahwa hubungan tersebut bukan lagi hubungan interpersonal. Sangat tidak layak bagi si korban untuk menerima kondisi yang menyedihkan. Selain merasa sedih, si korban adalah satu-satunya korban yang merasa bahwa dialah satu-satunya penyebab putusnya hubungan tersebut.

Tentu si korban berpikir naif, “Apa salahku sehingga dia menjauhi (atau meninggalkan) diriku? Pasti ini kesalahan dari diriku sendiri.” Hilangnya yang lain dalam suatu hubungan untuk mengevaluasi masalah satu sama lain adalah salah satu indikator hubungan yang tidak setara. Pelaku sebagai figur buruk dalam hubungan menghilang dan dapat mencari perempuan lain untuk mendapatkan kebahagiaannya, sedangkan si korban merasa sedih sendirian dan berusaha untuk tetap menunggu kepergiannya.

Jelas merupakan hubungan yang tidak setara bahwa korban adalah satu-satunya yang mengevaluasi dan menyalahkan dirinya sendiri. Sebaliknya, pelaku akan menghilang ke suatu tempat yang bagus tanpa pernah peduli pada siapa yang telah dia sakiti. Faktor ketimpangan dalam hubungan menjadi penyebab tidak bisa menimbang masalah secara adil.

Sebagai manusia, kita dibuat sadar terhadap fenomena gosting yang saat ini melugaskan bahwa makna hubungan sudah kabur, bukan lagi hubungan interpersonal. Pelaku gosting secara (tidak)sadar dan (tidak)sengaja mengonstruksikan pola pikir baru kepada korban atas hubungan yang tidak seimbang di mana korban justru mencoba merekonstruksi dan menegaskan keberadaan hubungan toksik tersebut.

Pelaku membutuhkan pencerahan kedewasaan untuk membuatnya berani dan heroik menghadapi masalahnya dalam hubungannya, sedangkan korban—terlalu naif untuk menonjolkan dimensi emosional—membutuhkan pendidikan tentang keadilan untuk menjadi manusia yang dapat mengaktifkan penalarannya di depan pelbagai masalah dalam sebuah hubungan.

15/3/2021



Posting Komentar

0 Komentar