Ketika otomatisasi merebak dan mulai mengokupasi lapangan kerja secara ekstensif dan masif, akankah manusia mendadak menjadi irelevan secara ekonomi? Tentu saja tidak—asumsi temporer.
Kendati manusia telah terasingkan untuk bersaing
dengan “kecerdasan buatan” di tempat kerja, ia masih tetap relevan sebagai
konsumen dalam sirkulasi ekonomi.
Namun, naasnya, secara teoretis kita bisa membayangkan
suatu keadaan ketika perusahaan tambang memproduksi besi dan menjualnya ke
perusahaan robotika, dan perusahaan robotika akan menjual produknya ke
perusahaan tambang untuk tetap bisa menambang dan memproduksi besi agar bisa
dijual ke perusahaan robotika lagi.
[Yang mencengangkan, kedua perusahaan itu dapat
berkembang hanya dengan komputer dan robot].
Mutualisme semacam ini melempar manusia ke ngarai
nihil nilai: eksistensi yang nonaktif—sebab, bahkan untuk sekadar menjadi
konsumen yang pasif saja, manusia tiba-tiba tak mendapat tempat.
Sekonyong-konyong, salah satu identitasnya, homo economicus, teranulir
begitu saja.
27/3/2021
0 Komentar