“Mungkinkah menikah itu mungkin?” Pertanyaan itu kuajukan kepada temanku yang tiba-tiba datang memintaku untuk mengenalkannya kepada seorang perempuan untuk dinikahinya—seolah-olah aku seorang pegawai biro jodoh.
Dalam kultur Indonesia, pertanyaan di muka terdengar
aneh, urakan, bahkan sesat, karena, dengan melihat norma umum yang ada, sewajarnya
berbunyi sebaliknya, “Mungkinkah tidak menikah itu mungkin?”
Dua pertanyaan tersebut terang-benderang diakomodasi
oleh dua payung kultural yang berbeda secara tajam. Yang pertama menyodorkan
inklusivitas pemahaman bahwa menikah itu opsional, sedangkan yang terakhir
menyodokkan eksklusivitas doktrin bahwa menikah itu keharusan.
Aku ingin menginvestigasi lebih jauh problem ini.
Sebelum itu, setidaknya aku menyangoni satu pertanyaan yang lebih fundamental: “Mungkinkah
kita bertanya mungkinkah menikah itu mungkin?”
15/6/2021
0 Komentar