Bertindak idealistis memang terlanjur diduga tindakan yang tidak realistis. Pembubuhan semacam ini terlalu dogmatis. Menyelisik dan meniliknya memaksa kita memergoki “idealistis” itu amat realistis. Jika tidak, ia niscaya bertolak belakang dengan “standar” yang berteriak dari nalar sosial dan yang terpahat dalam mural moral manusia itu sendiri.
Penting ditelan bahwa ketika manusia tidak bertindak “standar”,
berarti ia tak bersikap manusiawi. Para sujana meremas manusia secara definitif
sebagai “hewan berlogos” (hayawan al-nathiq). Ketika logos yang menjadi “standar”
liuk-lekuk dan kompas mata angin itu tak berfungsi, ya berarti manusia tak lagi
manusiawi. Logos hilang, tinggal hewan. Sesederhana itu.
Postscriptum
Orang lupa (mungkin tidak ngeh) bahwa bersikap
ideal, idealistis, adalah sikap standar, sikap yang paling wajar sebagai
manusia. Banyak yang miskonstru bahwa idealisme itu ajaran yang tidak
berpijak di bumi. Lho, ini hasil simpulan yang tak pernah direnungkan,
atau gara-gara ada (banyak) orang yang bilang begini lalu kita membeo begitu
saja. Sungguh lugu.
Kalau kita merenung sebentar saja, hanya sebentar,
mungkin dua puluh detik, maka kita akan mencerap dan mencecap secara benar
bahwa bersikap idealistis itu manusiawi, amat wajar, dan tentu saja sangat
membumi. Sehingga, ketika bersikap idealistis, kita benar-benar menyesap aroma
manusiawi dan ardinya, bukan malakuti, samawi, atau ilahi.
4/3/2022
0 Komentar