Ad Code

Responsive Advertisement

Pengetahuan A dan B mengenai X dan segenap kompleksitas determinannya

A mengetahui bahwa X adalah benar, sementara B tidak yakin bahwa X itu benar. A dan B melihat X secara berbeda. Bagi A, X itu memang benar karena A sendiri yang mengalaminya secara langsung. Malangnya, yang membuat B tidak gampang tergelincir mengamini itu ialah ketidaktahuannya atas “apa-yang-dialami/diketahui-oleh-A”.  P

engetahuan B merupakan ketidaktahuan; tetapi bagi B, meski tak disadari, ketidaktahuan mengenai kebenaran X merupakan “sebentuk pengetahuan”. Pada dasarnya, B, dilihat dari sudut pandang A, mengetahui tak secuil pun.

B yang telah berkukuh bahwa ia mengetahui X tidaklah benar, sebenarnya disuplai oleh “jenis pengetahuan lain” yang membuatnya mengimani bahwa memang X tidaklah benar. “Jenis pengetahuan lain” ini datang dari mana saja, misalnya otoritas. Pendapat/pandangan otoritas kerap kali tak diuji, dan bahkan tak jarang pula, dianggap “tahan uji” begitu saja, lebih-lebih jika ia berada di domain ‘yang dekat dengan yang sakral’.

Bahwa A mengetahui X sebagai kebenaran tentu didasarkan langsung pada pengalaman bahwa “demikianlah yang terjadi”. Hanya saja, di wilayah ini, B tidak ma(mp)u masuk menelisik apakah yang dimanuverkan A itu benar (atau tidak). Sekonyong-konyong B menolak “pengalaman A”.

Yang pertama-tama dialami B, saat mendengar bahwa X itu benar, ialah sontak kekagetan, dan bukannya berani memeriksa lebih jauh, malah bergumam “mana mungkin!”—bukan dengan tanda tanya melainkan tanda seru; dan B sendiri tak setuju kalau ada senoktah kemungkinan bahwa X memang benar.

B mendahulukan intuisi-yang-disuplai-otoritas bahwa X tidak benar karena memang wataknya tidak sejalan dengan “yang-lazimnya-kuketahui” (atau bahkan yang lazimnya diketahui orang banyak). Di sini A sendirian, karena hanya dia yang tercelup di dalam pengalaman itu. Kendati ada A-A yang lain, semua B tidak akan mau membuka ruang penyelidikan, bahkan untuk sekadar menaruh curiga pada “pengetahuan/ketidaktahuan”-nya sendiri.

B yakin, dan dengan itu ia menganggap “telah mengetahui”, bahwa A salah, karena X sendiri adalah pernyataan yang salah. Bagi B, karena X pernyataan salah, berarti apa yang dikatakan A hanyalah tuduhan, kecaman, kutukan, atau “fitnah”. A kelimbungan, padahal ia sungguh ‘mengetahui’, sedang B teguh karena ia mengetahui tak secuil pun (yang diketahui A).

Di sini seyogianya semua B berani menyaksikan bukti-bukti yang disodorkan oleh pengalaman si A. Nahasnya, dengan penandasan pada “keimanan-tahan-uji”” yang diekshibi oleh semua B, segala yang datang untuk memancangkan bahwa X itu benar, di hadapan B yang dengan sengaja menutup sendiri matanya, tak lebih dari kegelapan nonsens.

Yang penting dicatat berkaitan dengan ke(tidak)tahuan kita adalah (1) Kita tahu, (2) Kita tidak tahu, (3) Kita tahu bahwa kita tidak tahu, (4) Kita tidak tahu bahwa kita tahu, (5) Kita tahu hal-hal yang tidak mau kita kita ketahui, (6) Kita tidak tahu hal-hal-hal yang tidak mau kita ketahui.

Poin nomor (5) merupakan pendirian B untuk membigotri diri bahwa segala-yang-bertentangan-dengan-apa-yang-sudah-kuketahui menjadi tidak relevan untuk ‘kucoba’ ketahui. Dengan demikian, B akan terus berkanjang dalam menolak bahwa X (sebagaimana yang dialami A) itu nian benar.[]

*11/7/2022



Posting Komentar

0 Komentar