Kita seharusnya sudah mafhum betul bahwa para suporter sebuah klub sepak bola itu bagaikan satu lingkaran kerumunan dalam sebuah kultus, sebuah sistem kepercayaan atau ordo rohani yang membutuhkan pengurbanan jiwa.
Menonton klub “idola” (harfiah: berhala) bertanding
merupakan satu tindak peribadatan, ritus keagamaan yang luhur. Memang tak semua
suporter begitu, dan kita sebut saja yang-tak-termasuk sebagai “suporter
heretik”.
Suporter sejati atau “suporter ortodoks” atau bahkan “superortodoks”
atau penganut kultus taat itu contohnya seperti seorang suporter klub Perglodak
yang istikamah mendukung sekalipun Perglodak tak pernah sedikit pun mencicipi
gol [selain gol bunuh diri]. Itulah tanda suporter dengan keimanan yang tulen.
Walaupun Perglodak tak pernah menang di
segala-dunia-yang-mungkin-mana-pun, para suporter takkan gentar merasakan “pengalaman-mistik-manunggaling-kawulo-Perglodak”,
sebuah pengalaman mysterium tremendum et fascinans.
Setiap kultus, setiap sistem keimanan, atau setiap
ritus peribadatan selalu mengantongi “rasionalitas”-nya masing-masing. Diamati
dari eksterioritas sistem, tampak betapa tak-rasionalnya seseorang dalam
bertindak-di-dalam-kultus-tertentu, yang padahal secara fenomenologis kita
mesti melakukan {Einklammerung} terlebih dahulu, dan kemudian merasakan
sendiri sebagai subjek-di-dalam-kultus-itu.
Kekalahan sebuah klub/agama bukan sekadar persoalan
skor, tetapi juga persoalan insani sekaligus rohani, dan tampaknya “kematian”
akan terasa semacam pengurbanan spiritual.
*2/10/2022
0 Komentar