“Aku menulis ini sambil merokok.”
Aktivitas yang mana yang sesungguhnya sedang
kulakukan? Kurasa tak pernah lebih dari satu aktivitas yang bisa dilakukan
dalam satu waktu sekaligus. Dengan kata lain, aktivitas yang kulakukan hanyalah
menulis, sementara merokok bukanlah aktivitas itu sendiri, melainkan “pendamping
sebuah aktivitas”.
Sekalipun kalimat di muka berbunyi “aku merokok
sembari menulis”, intervensi semantik tetap tak dapat menggungat kenyataan
terbasah yang mengguyang: bahwa merokok tetap saja menjadi aktivitas
pendamping.
Alasanku ini kujangkarkan pada fakta bahwa proses
mental, yakni semisal menulis, nyatanya mendominasi proses fisiologis kita,
yakni merokok, misalnya. Tak dapat dielak, akhir-akhir ini nyaris jarang
ditemukan seorang perokok yang benar-benar merokok.
Biasanya, aktivitas merokok dijadikan aktivitas
pendamping dari aktivitas menyekrol, misalnya, atau mengobrol, atau melamun.
Sudah jarang ditemui merokok sebagai aktivitas yang berdiri sendiri. Ini sama
halnya dengan aktivitas sembahyang.
Saat seseorang sembahyang sembari melamun, sebenarnya
ia tidak sedang sembahyang, melainkan cuman melamun, dan aktivitas sembahyang
hanyalah pendamping dari aktivitas melamun tersebut—mengingat yang telah kita
ungkap di muka bahwa proses mental nyatanya lebih mendominasi proses fisiologis
kita.
Tulisan ini diprovokasi oleh sapaan simpel, “Merokoknya
kok segar banget gitu, Mas?” kata orang yang merejah di depanku, karena memang
kebetulan aku sedang “tertancap di dalam” aktivitas merokok itu sendiri.
Sumirnya, sebuah aktivitas menjadi nian valid dan tampak autentik apabila kita “menancapkan
jiwa” di dalam aktivitas tersebut (commit to the moment).[]
18/11/2022
0 Komentar