Rumah yang sederhana ini adalah jejak tubuhmu, sayang. Kala malam, padang rembulan melumuri seluruh tubuh rumah. Sebagian cahayanya melongok lamat-lamat, merayap ke gorden yang tersingkap.
Di saat pagi, halaman jadi harmoni. Kita habiskan kopi
di teras yang sunyi. Hanya lalu-lalang burung-burung liar dan beberapa penduduk
yang sekadar berjalan rejah, tanpa saling sapa. Kalau bukan karena mentari yang
meliuk ke jenjang di atas akasia sana, yang membuat tubuh kita dilumuri peluh,
pasti kita betah bercenung-cenungan di teras.
Rumah kita dimandikan cahaya, tapi tak pernah
berpeluh. Kita masuk ke dalam, kamu masuk juga ke dalamku. Tak ada lagi yang
dapat dikerjakan, selain kita saling mengerjakan. Panas-panasan dalam rumah.
Begitulah hari mengujur mujur. Hingga hari ke tujuh.
*
Ini sudah dua bulan. Test pack mengabarkan
bahwa aku berbadan dua.
https://unsplash.com/photos/9dD0gFvrFnY |
*
Begitu juga malam. Kita tak punya kesibukan. Selain
hasrat yang selalu merambat. Maklumlah, kita pasangan anyar. Seprai selalu
anyir. Sering saling serang hingga bergetar, sebab senang bergeleparan di
kamar. Tanpa damar. Tak ada komat-kamit selain dari bibir kita yang saling
bergamit. Dan selebihnya.
*
“Tapi, aku harus mengerjakan sesuatu. Aku tak betah
menganggur.” Katamu saat itu yang baru seminggu pernikahan berlalu.
“Sudahlah. Tetaplah dekat-dekat denganku.”
“Bukankah manusia adalah homo faber?” sergahmu.
*
Kita dulu jatuh cinta gara-gara balai desa. Pertemuan
itu masih kuingat. Kalau bukan malam yang mempermadanikan waktu, aku tak
mungkin mengenalmu.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” Katamu mencoba
membantu.
Aku membatu. Kaget. Kau seret lamunku ke wajahmu,
menyelempang ke tubuhmu seluruh. Ah! Pria yang gagah.
“Iya. Sepeda saya mogok,” balasku.
“Oh. Ya sudah, saya antarkan pulang. Ini sudah malam.
Pasti bengkel-bengkel sudah terbengkalai. Saya sorong motor Mbak dari
belakang.” Ucapanmu itu menyorong degupku semakin jauh. Mengantarku pulang?
Tolong sekalian antar ke pelaminan.
“Iya. Saya Dinda,” kusodorkan tangan. Ingin
kumanfaatkan.
“Raka,” balasmu.
Itulah pertemuan kali pertama yang mengantarkan kita
ke peraduan cinta. Ke penghirupan rumah tangga. Berhasil sudah jebakanku.
*
Test pack
ini tak mungkin membohongi. Tapi dia pergi tak kembali-kembali.
*
“Aku sudah bosan di rumah. Aku cari kerja. Jauh.
Entah.” Katamu malam itu. Malam yang hadirmu lekas pungkas harus kusekap di
kenang.
“Apa kamu sudah bosan denganku? Hingga tak mau
menemaniku selalu?!”
“Sampai kapan aku harus melulu di sampingmu? Hanya
sering bergeming dan kerap bergelinjang.”
“Perempuan memang membosankan ya?” kejarku.
“Tidak. Kita perlu sambung hidup. Aku akan cari kerja seadanya. Sedapatnya.”
*
Aku memang benar-benar tak tahu tentang laki-laki. Suka janji. Tapi salahku juga sih, terlalu mementingkan diri. Aku tak ingin jauh-jauh darimu. Karena kamu bagiku adalah angin, yang selalu dekat melekat di tubuhku. Aduh. Tapi angin juga bisa mengempas ke sana, menjejak jadi angan yang meradangku merana.
*
Malam pamit kerjamu itu adalah sejarah pertengkaran
kita. Aku menampar pipimu hingga memar.
“Pergilah! Kau memang laki-laki pecundang. Sudah
kuberitahu bahwa kita punya segalanya. Kau tak usah cari kerja.”
“Aku menyesal bertemu denganmu di balai desa, berujung
di rumah tangga. Aku menyesal,” gerutumu geram.
“Apa maksudmu?” Kutangkis ceracaunya.
“Ah, sudahlah. Aku sudah tahu. Dusta!” tungkasmu.
“Tapi sungguh aku cinta kamu penuh!”
Air mata mulai berlinang, mengumpulkan untuk menyungai di pipiku yang temaram. Pasi. Kau pergi. Sungai mengalir di jalurnya. Deras. Aku benar-benar jatuh cinta. Tapi ini. Salahku juga, tak bilang dari awal.
*
Warisanku dari orangtua memang tak akan habis. Tujuh turunan, seperti istilah orang-orang. Cukup kamu di dekatku. Atau, kau sudah tahu semua rahasiaku. Kau mampu membaca kisahku? Dari mana naskah itu kau temukan? Padahal aku belum menuliskan.
*
Test pack
menunjukkan kebenaran. Sudah dua bulan kau tak pulang. Aduh, pasti kamu sudah
tahu tentang diriku. Tentang Dinda yang dusta.
*
Pertemuan kita, pertemuan balai desa. Ini sudah dua
bulan. Tak bisa aku hanya menunggu Raka pulang. Aku akan ke balai desa lagi.
Cari-cari.
Sambil kuelus garbaku yang mulai gemuk berembus,
kubisikkan, “Nak, kamu sudah dua bulan. Akan kucarikan bapak baru. Bapak yang
tidak buruk. Tak ada waktu lagi menunggu bapak pulang, bapak yang sebenarnya
bukan bapakmu.”
Raka mungkin sudah tahu rencanaku. Tak apalah. Kita ke
balai desa, berpura-pura lagi mogokkan motor. “Barangkali kita akan temukan
pertanggungjawaban bapakmu yang ketiga.”
Ah semenjak Raka, laki-laki yang gagah alasan cari
kerja, aku tak lagi mengenal cinta. Aku hanya kenal balas dendam. “Balas dendam
untuk bapakmu yang pertama. Bapak aslimu yang khianat, Nak!”[]
^ditulis pada 19/3/2018
0 Komentar