Ad Code

Responsive Advertisement

Ekstremisme Beragama dan Perlunya Spiritualitas Dapur

Keberagamaan kontemporer dalam carut-marut modernisme dan industrialisme telah terjebak dalam rigiditas tekstualisme dan formalisme seremonialistis. Genealogi epistemiknya dapat diusut pada psikologi massa yang adiktif untuk melakukan eskapisme dari—asumsi atas—buruknya dan busuknya komponen duniawi, mulai dari sistem kenegaraan hingga pergaulan di kamar.

Hal itu menjadi titik tolak dari semaraknya tren “hijrah” yang menghambur dan menjamur, baik di realitas nyata maupun realitas maya. Term “hijrah” tidak mencuat begitu saja tanpa ada penjangkaran eksistensial yang kukuh pada dasar realitas. Secara komprehensif, dengan tinjauan yang berani, tanpa bermaksud menjustifikasi, bahwa sebenarnya kehadiran fenomena “hijrah” bukan sekadar menyuguhkan kebenaran dan kebaikan semata, tidak mustahil malah sebaliknya.

Aku berpendapat, tanpa tedeng aling-aling, apabila kita berani menghitung konsekuensi, fenomena hijrah adalah sebuah ideologi yang selangkah sebelum ke ekstremisme sosial (yaitu intoleransi teroristik). Langkah pertamanya adalah ekstremisme personal. Sebab, di dalamnya seseorang menjadikan dirinya sendiri untuk adiktif dan konsumeristis akan pesan-pesan agama dan berbusa-busa dalil untuk ditaati dan ditakuti secara dogmatis.

Tren “hijrah” menunjukkan ada yang tidak tuntas dalam memahami keberagamaan. Memang jika ditengok secara sepintas, tampak bahwa “hijrah” begitu memesona, dapat mentransformasikan perilaku serta kebiasaan sehari-hari menjadi—yang diduga—baik.

Ekstremisme beragama secara personal, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fenomena “hijrah”, rentan menstimulasi dan memautkan subjeknya pada langkah selanjutnya, yakni ekstremisme beragama di ruang sosial, misal menganggap “yang-lain” sebagai “bukan-kami”. Pendiferensiasian antara “aku/kami” dengan “mereka/yang-lain” menunjukkan ketidakberesan dalam memaknai agama sebagai mata air rahmat universal.

Bagaimanapun, betapa religiusnya seseorang (dalam keseolah-olahan), bila resultansi beragama atau hijrahnya mencuatkan destruksi sosial, seperti menandaskan segregasi biner atau bahkan oposisi biner, berarti terdapat kausa yang masih mentah. Itulah mengapa, banyak subjek terkait menjadi bebal untuk memahami “keberagama(a)n”.

Seyogianya, agama adalah spiritualitas. Tidak ada satu pun mazhab kepercayaan dan aliran agama yang tidak mengamini proposisi tersebut.  Keberagamaan dalam keberagaman hanya dapat dihayati melalui spiritualitas agama. Dengan kata lain, keberagamaan yang tidak bertaut kelindan secara ontologis dengan spiritualitas adalah suatu ekspresi beragama yang masih mentah. Menyadur Emha Ainun Nadjib, penaka warung makan, bahwa (ber)agama itu tempatnya di dapur, sedangkan etalase makanan adalah hasil dari pengolahan yang ada di dapur.

Dengan begitu, tolok ukur keberagamaan seseorang ada pada dapurnya. Mana mungkin sebuah warung makan yang diminati banyak orang karena sajian makanannya yang lezat tidak bertolak telaah dari pengolahan yang intim dari si koki dengan seluruh perkakas dan entitas dapur? Dan bukankah sebuah kemustahilan absolut kalau pedagang makanan menyajikan masakannya yang masih mentah? Mana ada “masak(an)” yang “mentah”? Menurutku, tren “hijrah”, selain sebagai fenomena “kaget agama”, juga merupakan suatu indikasi adanya “kementahan” yang dieksibisikan di etalase warung makan.

Dengan demikian, dapur adalah hal yang penting untuk mengolah “diri” menjadi matang. Perkakas, bumbu, tungku api, dan kerelaan untuk matang adalah titik tumpu untuk memukimi spiritualitas. Di atas kompor yang menyala, sayur-mayur mengeluh dan merintih di dalam periuk, “aduh Nyonya! Badanku tidak kuat menerima panas ini!” Kacang polong dan kubis berupaya melompat dari periuk karena tidak kuat menahan panas. Akan tetapi, Ibu rumah tangga tidak berbelas kasih dan malah terus mengaduknya sembari bergumam menjelaskan kepada sayur mayur tersebut, “Bersabar dan berpasrahlah, bahwa yang mentah harus dimasak.”

Fenomena ekstremisme beragama yang terekspresikan melalui intoleransi sosial merupakan fenomena “pelupaan atas dapur”. Intoleransi yang didasarkan pada diferensiasi “aku-kau” memancangkan eksklusivisme identitas dan merepresi “yang-lain” sebagai “yang-belum-aku”, sehingga ia beranggapan bahwa “yang-belum-aku” perlu dipurifikasi melalui “aku-yang-sudah”. Selain memunculkan superioritas, intoleransi juga mendesakkan kebenaran monolitik yang rigid. Inilah penyebabnya kalau beragama tanpa spiritualitas.

Bagaimanapun, dapur merupakan titik tolak beragama seseorang untuk mengalami “keberagama(a)n”: bahwa “aku” adalah “untuk yang-lain”. Sebab, melalui dapur, seseorang mesti memasak dirinya agar matang sebelum membaur ke meja perjamuan di ruang makan. Oleh karenanya, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya (khayr al-nas anfa‘uhum li al-nas).” Dan itu berawal dari dapur, tempat kementahan manusia digodok.[]

^Diamati sejak tahun 2016, ditulis pada tahun 2019. Mungkin sekarang, 2023, term hijrah telah mengalami perubahan signifikan.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Hijrah itu kayak manuk/burung bakalan masih gelabakan.

    BalasHapus