Ad Code

Responsive Advertisement

“Jadilah diri sendiri” yang tak memiliki arti

Jadilah diri sendiri! (Be yourself!)

Apa yang kita cerap saat kita mendengar atau membaca kalimat imperatif di muka? Dan bahkan apa yang kita pahami saat mengutarakan kalimat tersebut entah kepada diri sendiri atau kepada orang lain? Aku amat khawatir kalau kita, ketika mengutarakannya, yang bahkan menjadikannya moto hidup, tidak tahu secara persis pokok persoalan kalimat tersebut lantaran kita hanya ikut-ikutan tren yang sudah dan tengah berkembang. Lebih lanjut, moto hidup “jadilah diri sendiri” memang tampak canggih, tetapi sebenarnya sungguh amat ringkih, aku berpandangan.

Kita mungkin hanya mengira bahwa kita menjadi—lebih—baik dan berkembang kala, dan hanya kala, kita menjadi diri sendiri. Artinya, kita tak perlu, dan bahkan tak boleh, mengimitasi orang lain untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Tesis ini diambil begitu saja tanpa pemeriksaan cermat, bahkan pemeriksaan ugal-ugalan sekalipun. Aku ingin menyodorkan pertanyaan untuk menggoncang tesis taken for granted di muka. Mungkinkah kita bisa menjadi diri sendiri?

Pertanyaan tersebut tentu tidak pernah terbayang sama sekali lantaran kita sudah kadung memostulasikan bahwa “kita harus menjadi diri sendiri”, tanpa sama sekali mengacu pada landasan prasyarat epistemis dan kondisi ontologis. Jadi, tilikanku ini bukan sekadar pada ranah psikologis, melainkan sosiologis dan filosofis. Aku ingin menjawab bahwa sebenarnya kita tidak pernah bisa menjadi diri sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi diri sendiri lawong ia dalam hal berbahasa saja mengimitasi orang lain, paling pertama dari orang tua dan utama dari lingkungan. Kita mesti meletakkan bahasa sebagai—meminjam istilah seorang dukun Jerman, Heidegger—“rumah (meng)ada” kita, yang artinya kita mewujud dan terus memukimkan serta mengembangkan wujud kita di dalam bahasa. Dengan kata lain, aspek paling mendasar yang menggugat, bahkan menyangkal, bahwa kita tidak perlu menjadi orang lain, atau mengimitasi orang lain, adalah bahasa kita.

“Mengapa kita masih menggunakan bahasa yang orang lain gunakan?” Pertanyaan ini tentu amat konyol secara teknis, tetapi ia justru begitu fundamental sebab bahasa sebagai rumah ada kita menjerat kita untuk bisa lepas kendali atas pembentukan yang sepenuhnya otonom terhadap “kedirian” kita.

Mengapa Anda berbahasa Indonesia, misalnya? Karena Anda tidak bisa menjadi diri Anda sendiri, melainkan mengimitasi orang lain. Artinya, moto hidup untuk menjadi diri sendiri teranulir karena aspek fondasional kita saja tak memenuhi prasyarat epistemis bagi kita untuk bisa menjadi diri sendiri. Penting diingat bahwa bahasa niscaya membentuk dan membuat kita berevolusi pada jalur kultural tertentu, yang kemudian mengapkir kita untuk bisa berevolusi pada jalur personal tertentu yang padanya tesis “jadilah diri sendiri” mencoba dilandaskan.

Pada aspek psikologis, kita pun tak pernah bisa menjadi diri sendiri. Kita senantiasa dituntun oleh nilai-nilai norma tertentu, atau katakanlah nilai-nilai agama dan weltanschauung (pandangan dunia) tertentu sehingga tidak bisa menyembul sebagai “aku murni. “Aku” tidak pernah bisa lepas dari determinasi nilai-nilai eksternal yang kemudian kuinternalisasikan dalam hidupku. Singkatnya, “aku” tidak pernah lepas dari kepelbagaian yang-lain, dan itu berarti “aku” selalu bersama, selalu disertai oleh, selalu mengimbangi, selalu dideterminasi oleh, selalu bersinggungan dengan, kompleksitas yang-lain. Maka, “aku” tidak pernah bisa menjadi diri sendiri, sebab “aku” adalah kombinasi sengkarut dan kompleks dari pelbagai variabel, entitas, dan identitas yang-lain.

Moto hidup naif dan biasanya digunakan sebagai motivasi psikologis yang konyol kendati marak, “jadilah diri sendiri”, mengandaikan bahwa manusia menyembul dari tanah kosong di tengah sahara tanpa interaksi sedetik dan sedikit pun dengan yang-lain, entah “yang-lain” itu berupa bahasa, agama, gagasan, norma, nilai, pandangan hidup, atau bahkan gen biologis.

Manusia hidup di tengah gempuran yang bervariabel, dan setiap variabel menjadi determinan krusial bahwa ia sepenuhnya dilempar untuk tersentuh langsung baik aktif maupun pasif dengan segala ragam kondisi eksternal yang kemudian memengaruhi serta mengonstitusi (constitute) secara kuat dan membentuk secara dahsyat kediriannya. Artinya, tidak ada satu pun kehidupan seorang insan yang bisa terlepas dari pelbagai faktor di luar kediriannya. Lalu, bagaimana mungkin orang mengutarakan “jadilah diri sendiri”?

Mari kita berbicara pada tataran yang lebih pragmatis. Bagaimana mungkin kita bisa menjadi diri sendiri? Kita berada di arena di mana kita selalu tarik-ulur dengan, dikepung oleh, dan terjibaku oleh kepentingan dan hak orang lain. Sopan santun yang datang dari norma sosial dan hukum yang menghunjam dari konteks politik selalu menjerat kita untuk terus-menerus mengalihkan fokus personal kita ke fokus komunal. Kita tak pernah bisa bersikap tanpa mengacu atau menjangkarkan diri pada konteks wadah yang menuntun kita.

Mana bisa kita menjadi diri kita sendiri? Pelbagai variabel yang mendribel kita terus-menerus mengawasi, bahkan secara signifikan menentukan, perkembangan diri agar tak pernah keluar dari jalur sosiolegal dan religiokultural yang ada. Manusia terlempar ke tengah arena dan kemudian bersentuhan dengan ego lain, yang kemudian membuatnya, atau bahkan memaksanya, untuk belajar beradaptasi dan menyelaraskan diri sesuai lingkungan dan konteks kepentingan bersama, agar bisa terus kompatibel dengan latar kehidupan yang ia jalani. Jika tidak, dan malah berkeras kepala untuk mengedapankan ego narsistik, “jadi diri sendiri”, tak terelak, ia tidak akan pernah bisa sintas. Dengan kata lain, seseorang tidak akan bisa sintas apabila ia tak bisa berkompromi dengan situasi spesifik yang mengepungnya, dan secara praktis di sinilah letak zoon politikon, yakni, dalam konteks ini, manusia merupakan makhluk yang paling lentur untuk bisa dibentuk saat terbentur.

Pada tataran yang lebih tinggi, tidak ada satu pun orang yang tidak meniru: tidak ada satu pun orang yang bisa dengan rigid menjadi diri sendiri secara totalitas. Semua jenius canggih di seluruh dunia selalu dipengaruhi oleh jenius canggih sebelumnya. Jika berkukuh pada tesis konyol untuk menjadi diri sendiri, sang jenius akan tampak amatir untuk bisa melampaui jenius sebelumnya. Artinya, proses untuk menjadi seorang revolusioner atau inventor, misalnya, ialah melakukan mimikri terhadap jenius lain dan kemudian melampauinya. Memang betul ia “melampaui”, tetapi ingat bahwa ia takkan bisa melampaui kalau tidak memimkri (A, kemudian B, dalam urutan abjad—tidak pernah langsung ke B kalau belum ke A, dan B sudah mengandung A).

Umumnya dalam segi sosial, kalimat motivasi mentah “jadilah diri sendiri” dimanuverkan untuk menasihati, kendati secara keliru, agar tak meniru orang lain. Ini absurd sekaligus mustahil, untuk tak bilang kekonyolan yang direka-reka. Mana ada orang yang tak memimikri orang lain? Mulai dari cara berpakaian sampai bentuk tali beha, kesemuanya merupakan produk massal, yang artinya berkait-kutat dengan mimikri dan bahkan taklid terang-terangan.

Mode dan model tidak pernah bertolak dari ruang vakum. Cara berbicara Anda sepenuhnya merupakan mimikri dari orang lain. Dengan demikian, “menjadi diri sendiri”, baik pada aspek rudimenter serta elementer maupun sentral serta periferal, dengan penyelidikan yang telah kupaparkan, adalah kegagalan yang niscaya, atau sebuah kekosongan yang konyol: ia hanya ada sebagai kalimat, tetapi nonsens secara filosemantik.

Aku sadar kalau kritik ini akan dibaca oleh Anda dan kemudian Anda akan mencoba mengkritik dengan bergumam, “Kritik ini salah sasaran.” Aku menyadari ini jika Anda bertolak dari titik yang berbeda, dan krusial dicatat bahwa aku bertolak untuk langsung menyasar jantung persoalan, bukan kulit atau pakaian persoalan. Itulah yang kuandaikan bahwa Anda juga memahami titik berangkatnya demikian. Jika belum, mari baca ulang dari awal.[]

/15/02/2023

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Oke sip wes....
    kesimpulannya menjadi diri sendiri itu konyol

    BalasHapus