Jika kita seorang fisikawan sekaligus ateis tulen, apakah kita benar-benar menyangkal—keimanan terhadap—adanya tuhan? Keateisan dan kefisikawanan kita adalah identitas yang berbeda tetapi bertubuh dalam satu penghayatan.
Apa yang dimaksud dengan “tuhan”? Apa itu deitas (deity
/ objek penyembahan)? Tentu saja naif untuk menafikan ponsel pintar (dengan
praktik peribadatan nyekrol wal ngumpan) sebagai bukan deitas kita.
Kita selalu punya “idola” (merujuk arti harfiah:
berhala), entah itu ideologi, merek, selebgram, atau parpol. Term “Tuhan” acap
kali dipahami merujuk pada satu realitas ultim yang melandasi dan
serba-meliputi entitas maujud dan nonmaujud. Jika demikian yang kita sepakati
maknanya, tentu amatlah riskan untuk menolak apa yang menjadi letztbegründung
(fondasi ujung atau ujung pilar)
dalam epistemik kefisikawanan kita.
Letztbegründung
adalah yang menjadi pendasaran filosofis dalam profesi kita sebagai fisikawan;
ia mencakup pijakan kemenyeluruhan ilmu pengetahuan kita, sehingga menjadi
nonsens untuk menghindari “realitas ultim”. Sedangkan dalam keateisan kita, letztbegründung
merupakan penjangkaran eksistensial dalam menghadap kiblat kehidupan ini.
Keateisan kita tersekap dalam labirin keimanan yang
tak diakui, yang ditolak, bahkan yang belum tersingkap. Ternyata, keateisan
kita yang tulen (meski disokong oleh dalil kefisikawanan kita) selalu belum
lengkap, belum melebur dalam arti paling jenuin (genuine). Sebab,
jenuinitas mengakar pada letztbegründung itu sendiri.
Adakah cara lain untuk mengateiskan diri secara utuh
dan penuh?
*16/6/2019
0 Komentar