Para sarjana berpandangan bahwa sastra spiritual telah diwakili oleh disiplin tasawuf sebagai jantung dari Islam. Tasawuf memang memenangkan yang spiritual dan menspiritualkan yang profan, menekankan yang esoteris (batiniah) dan mengesoteriskan yang eksoteris (lahiriah). Dalam hal tersebut, ada satu ciri khas yang patut dicatat bahwa universalitas keindahan dalam estetika sastra adalah merefleksikan yang sakral (al-Quddūs).
Tasawuf sebagai
dimensi esoteris Islam mewadahi penghayatan batin seseorang terhadap realitas.
Mulanya, disiplin tasawuf menjadi seremoni dan ekspresi dari perjalanan tangga
rohani menuju Tuhan. Namun, muaranya, tasawuf juga menjadi rahim yang
melahirkan banyak para penyair atau pujangga yang dapat menggubah karya sastra
memesona—sebut saja beberapa di antaranya, seperti al-Hallāj (w. 922 M), ‘Umar al-Khayyām (w. 1132 M), Hakīm Sana’i (w. 1141 M), Farīd al-Dīn ‘Attār (w. 1220 M), Ibn ‘Arabī (w. 1240 M), dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī (w. 1273 M).
Memang kebanyakan
dari para sufi memiliki karya sastra, seperti puisi, misalnya, dan juga di
antaranya ada yang menulis prosa alegoris yang mengemas hikmah sufistik.
Sehingga, para sufi kerap identik sebagai penyair rohani. Begitu pula halnya
seorang penyair, yang acap menjalani kehidupan dengan laku nyastra dan laku
nyufi untuk dapat menangkap makna terdalam dari segala kejadian dan kemudian
mengekspresikannya melalui sebuah karya. Kait-kelindan antara tasawuf dengan
sastra cukup mencolok bagi pejalan rohani di liuk-lekuk kehidupan.
Kehidupan digulati
sebagai misteri yang memuat tremendum et fascinant. Kegentaran dan ketakjuban
merupakan dua efek dari tajallī jalaliah
dan jamaliah Tuhan. Penghayatan dan penyaksian (mushāhadah) para sufi terhadap tajallī-Nya merupakan hasil dari mujāhadah dan murāqabah—hal ihwal
yang harus dihayati terus-menerus baik secara lahiriah maupun batiniah. Awas
atas kehadiran-Nya yang maha meliputi (al-muhīt) itulah yang mengantarkan mereka pada pengalaman mistik (mystical
experience).
Pada kenyataannya,
pengalaman mistik atau sufistik, bukan hanya dapat menggembleng untuk melek
moral atau etik, melainkan juga bermuatan estetis. Selama ini kita hanya lazim
memaklumi bahwa pengalaman mistik mengandung aspek kognitif-intuitif (ma‘rifah)
semata, padahal sebenarnya pengalaman tersebut juga menampung unsur
estetis-kreatif. Sebab, pengalaman mistik menyingkapkan selubung realitas-baru
yang tidak dapat ditimba dari fenomena kasatmata.
Para sufi memang
kerap menyandarkan pengalaman mistik dengan Tuhan sebagai relasi cinta. Oleh
karena relasi cinta, bahasa sastra sebagai medium pengungkapan menemukan
jalurnya, karena bahasa sastra yang puitis selain dapat melakukan simbolisasi
terhadap Tuhan (Yang Maha Tak Terjemahkan), juga dapat merepresentasikan
letupan gradasi keintiman. Hal itulah yang mendorong para sufi untuk
merekonstruksi pengalamannya dengan cara memverbalisasikannya melalui bahasa
sastra yang puitis. Oleh karenanya, terdapat kaitan erat antara aspek kreatif
dari pengalaman mistik dan aspek mistikal dari bahasa puitis. Coba simak satu
contoh petikan rubai Rūmī ini:
Tanganku biasanya memegang al-Qur’ān/ Tapi sekarang menggenggam cangkir cinta / Mulutku biasanya penuh wirid keagungan / Tapi sekarang hanya menguntai puisi dan nyanyian (J.T.P. de Brujn: 2003)
Tentu saja dalam bait
tersebut, Rūmī memainkan imaji puitis yang amat sufistik. Malangnya, kalau bait
tersebut dibaca secara mentah dan harfiah, akan menimbulkan kontroversi atas
kesufian dan kesan heretik atas religiositas Rūmī. Makanya perlu penakwilan sufistik
terhadapnya. Menurut saya, Rūmī sedang melukiskan pengalaman mistikalnya
dengan Allah bukan lagi pada maqam relasi mukalafnya sebagai hamba yang harus
menyembah Tuhan, melainkan relasi keintimannya antara pencinta yang sedang
mabuk asmara kepada Kekasihnya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah.
Hemat saya, tamsil
“cangkir cinta” tersebut tidak berarti ia menegasikan rutinitasnya membaca
al-Qur’ān, justru itu upaya metaforis bahwa al-Qur’ān tidak lagi ia pahami sebagai kitab suci
yang hanya menuntun keberislamannya, melainkan ketika dibaca ia jadikan sebagai
perjamuan asmara antara ia dengan Allah—begitu pula dengan “menguntai puisi dan
nyanyian”. Dalam tamsil itu, alih-alih meninggalkan wiridnya, Rumi malah
bermaksud menyublimasi pendawaman wiridnya sebagai satu bentuk deklamasi puisi
dan nyanyian untuk Kekasih.
Sampai sini, amat
jelas bahwa pengalaman mistik para sufi memuat unsur estetis dan kreatif.
Ringkasnya, terdapat kait-kelindan antara pengalaman para sufi terhadap Yang
Maha Indah (al-Jamāl) dengan
bahasa sastra yang indah dalam kepentingannya untuk memverbalisasikan
pengalaman. Memang, antara tasawuf dan sastra sama-sama digali dari intuisi
rohani yang terwadahi dalam dunia estetis manusia.
Oleh karenanya, patut
dicatat bahwa tasawuf tidak hanya kanon etika dan ritualisme semata, melainkan
juga mencakup laku estetis dan gejolak sastrawi, seperti halnya cinta
(mahabbah), rindu (‘ishq), memandang (mushāhadah), dan keintiman (uns). Hal ihwal itu merupakan satu paket dari
konsekuensi pengenalan terhadap Tuhan (ma‘rifah). Menurut saya, tasawuf
menunjukkan bahwa umat manusia selalu niscaya sedang melakukan perjalanan
menuju Tuhan. Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, “Kita sedang melakukan
perjalanan, dan sastra itulah getarannya.”[]
^ditulis pada April 2020;
pernah ditayangkan di arrahim.id,
https://arrahim.id/aa-tp/pengalaman-dan-cinta-para-sufi-yang-begitu-puitis/
0 Komentar