Ad Code

Responsive Advertisement

Pengarang di atas atap

Duduk di atas atap seorang pengarang yang gelisah, bersila di atas genting dirangkul angin. Ia ingin tuturkan cerita dari lubuk gubuk-gubuk rakyatnya yang menderita.

/Ditulis pada 2017/

“Apa yang kau maksud dengan penderitaan, duhai pengarang?”

Ia menjawab dengan bergeleng tangan, seolah berjabatan dengan angin yang melenggang.

Cerutunya yang diisap oleh bibir bungkamnya, mengawinkan angin dengan asap yang meruap dari angan wajahnya. Dua bola matanya menyaput ufuk jauh yang sekejap saja diraih riuh geledahnya. Telinganya mencoba pantau suara isak-parau dari dada-dada rakyatnya.

“Bila kau saja tak tahu arti penderitaan, bagaimana kau akan menuliskan, turunlah! Di atas genting tak akan ada gagasan yang menggelinding,” kataku dari bawah derita.

“Aku harus mengambil jarak,” sahutnya setelah sejam bibir dibungkam.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Bagaimana mungkin bisa aku mengetahui diriku bila aku tak berjarak dari diriku?” tungkasnya cergas.

Aku terdiam, tak tahu hendak menjawab apa.

*

Dulu ketika aku masih bocah, aku sering duduk di pekarangan yang mekarkan beragam kembang. Di sana, pernah kakekku berkata, “Lihatlah kupu-kupu itu, Nak! Kita tidak akan pernah tahu kupu-kupu bila kita tak menjadi kupu-kupu.”

“Aku punya buku tentang kupu-kupu, Mbah, hadiah dari Bu Guru, ketika aku menang lomba makan kerupuk.”

“Nah, sekalipun ratusan rak kau tenggak tinta di lembarannya, sedikit pun kau takkan pernah tahu rancak kepakannya.”

“Lalu, Mbah, aku harus bagaimana bila ingin tahu tentangnya?” jawabku dengan mengelap ingusku yang luber.

“Kau mesti jadi kupu-kupu.”

“Tapi aku bukan kupu-kupu.”

“Manusia berada di menara piramida penciptaan, Nak. Puncak dari gema kun-Nya. Sesekali bertamasyalah ke bawah. Jenguklah sesuatu yang terlupa.” Tutur kakek yang tak kutahu maksudnya sebelum aku dewasa.

*

Seorang pengarang dengan wajah gelisah, duduk di atas atap seolah hendak memerkosa yang ada di bawahnya, dengan matanya, dengan telinganya, dengan congkak kepandaiannya. Ia menunjukkan keperkasaannya sebagai pujangga dan penggubah yang dapat mengubah. Angkuh penanya membuatnya tak bisa berpikir bahwa jarak adalah ketidaktahuan. Tintanya menenggelamkan dirinya dalam lautan kealpaan. Ketika ia ambil jarak, berarti ia melupakan.

“Meski kau menulis untuk menjaga agar tak terlupa, tetapi bagaimana mungkin ada yang tertuliskan bila dilupakan? Menulis adalah melupakan?”

Lalu, sang pengarang melompat dari atap, dahaganya menggeliat, ia bergegas tuntas, untuk menjadi rakyat. Mengalaminya dengan menyelaminya, merasakan pahitnya dengan cara meminumnya, dan menyembuhkan penyakitnya dengan mengetahui penyebab deritanya. Ia bergegas.[]

Posting Komentar

0 Komentar