Ad Code

Responsive Advertisement

Pikiran dan Batasan

Dunia dan seisinya akan ada bila pikiran menjalankan dirinya. Bukan sebuah percandaan bila tanpa pikiran, dunia dan isi kehidupannya dapat lenyap, seketika juga. Dalam dirinya sendiri, ia beroperasi sesuai dengan fleksibilitas tatapannya. Semakin lentur tatapannya, semakin ia dapat melingkarkan diri searah bulatan cakrawala; semakin jauh ia melempar tatapannya, maka ia semakin dapat menembus jarak pandang yang dibarikade, dirintangi, diintolerankan, dikerangkeng, baik oleh gejala alamiah maupun gejala artifisial.

Barikade dari gejala alamiah bisa terjadi oleh retaknya selaput kewarasan dan memuarakan pada abnormalitas yang memang secara intrinsik menjadi potensi dari dirinya. Sedangkan, barikade dari gejala artifisial bisa terjadi akibat dari sulap, dari suap, ataupun kedunguan yang dipelihara untuk tetap menguap.

Pakar boleh berdebat mengenai “kesadaran” apa yang menjalar dalam mental manusia, sehingga ia dapat mengikhtiarkan suatu “transendensi” terhadap refleksi atas realitas. Pikiran berada dalam salah satu busur signifikan tersebut. Dalam arti yang paling bebas, pikiran tidak memiliki regulasi hukum yang dapat mengadilinya.

Pikiran tidak selalu identik dengan kesadaran, tetapi dapat diklaim per se bahwa kesadaran niscaya terselimuti oleh kerja aktif dari pikiran. Perdebatan para pakar tentang koordinat manakah yang ditempati oleh pikiran menunjukkan bahwa kegagapan ilmiah masih dijebak oleh konstelasi fisik dan material. Mungkin konklusi paling canggih—tetapi simplifikatif—adalah mengatakan bahwa pikiran itu sebentuk hantu yang mujarad atau abstrak.

Term-term filosofis tidak akan menjembatani pemahaman tuntas, tetapi tiap term yang disodorkan menunjukkan upaya arogansi terhadap finalitas. Kita dapat membenci itu. Ekspresi paling puncak untuk mendeskripsikan perihal kompleksitas pikiran secara analitis menemukan momentumnya pada traktat-traktat yang berat. Kita muak dengan itu.

Seorang ahli akan mengemukakan pendapatnya tentang pikiran, tetapi ia mengandaikan bahwa pikirannya dapat mengobjektivikasikan diri. Ketika pikiran sebagai subjek berkutub dengan pikiran sebagai objek, apa yang terjadi? Manakah yang menang? Atau mungkin di sana tidak terdapat pertarungan?

Setiap upaya mengobjekkan sesuatu berarti menggagahkan diri untuk memosisikan keperkasaan pada arah analisis yang bersifat destruktif, sehingga tidak lain adalah berujung pada reduksionistis. Konsekuensi dari seluruh kerja itu akan memenggal keutuhan “sesuatu” (baca: pikiran). Padahal, kita berupaya menghindar dari upaya binal semacam itu. Hanya saja, risikio dari objektivikasi lebih rentan memproduksi reduksionisme ketimbang merenungkan holistisitas kerangka pikir yang menyeluruh.

Tulisan ini tidak menjanjikan untuk mengatasi problem semacam itu; justru hanya sekadar untuk mengupayakan dalam pembebasan diri dari jeratan tersebut.

/Ditulis pada 10 Maret 2018/

Pikiran dapat digambarkan sebuah jagat, sekaligus suatu atom metafisis, yang membungkus keseluruhan selimut horizon, mencandrakan suatu totalitas yang lengkap dan bulat. Apa yang diusahakan oleh pikiran bukan sekadar upaya refleksi atas realitas, melainkan ikhtiar “transendensi” pula terhadap kerja refleksi atas realitas. Pikiran bertarung dalam lapisan yang mengatasi, membumbungi, sekaligus mengenggam secara lembut dan berwibawa.

Pangkal dari kerja pikiran adalah “aku”; kesadaran bahwa “aku” bukanlah linguistika dalam kamus, bukan pula identitas personal yang hanya disadari, tetapi ia juga menggenggam seluruh lanskap hidupnya secara menyeluruh: di situlah “transendensi” mulai mendekap. Dekapan itu halus dan lembut seperti angin yang menyentuh pipi, memerah. Kesadaran berada pada tulang-punggung identifikasi pertama, seirama napasnya.

Pakar senang berbicara batasan pikiran, tetapi kita mencoba menyangkalnya. Upaya itu bukan arogansi nalar atau pun frustasi terhadap limitasi yang dibangunnya. Apakah memang pikiran memiliki batasan? Batasan apa yang dapat mendindingi kepakannya? Kita tidak dapat menjawabnya dengan cepat-cepat, melainkan dengan awas dan saksama.

Sebenarnya akan sederhana bila “pikiran” sebenarnya dibatasi oleh “pembatasan”-nya itu sendiri. Apa itu “pembatasan”-nya? Itu adalah apa yang kita ciptakan sendiri melalui pikiran kita pula.[]



Posting Komentar

0 Komentar