Ad Code

Responsive Advertisement

Ponsel pintar, media sosial, dan ketidaknetralan teknologi

“Jika kau tak membeli produknya,” kata pepatah klasik, “berarti kau sendirilah yang sedang menjadi produknya.”

Banyak orang masih berteguh sikap bahwa teknologi itu netral: “Pisau di tangan koki menjadi positif, di tangan pembunuh menjadi negatif.” Contoh simpel ini kemudian dijadikan dalil di atas semua sampel lainnya yang justru jauh lebih kompleks. Ini tentu mispersepsi yang dilanggengkan begitu saja tanpa ma(mp)u melakukan pemeriksaan dengan cermat.

Teknologi tidak datang dari ruang vakum, sekonyong-konyong turun dari langit atau menyembul dari perut bumi. Ia berbalur kental dengan lanskap kebudayaan, berkelindan kencang dengan aspek sosiopolitik, dan kemungkinan besar dilahirkan secara paksa melalui rahim tentakel bisnis yang super eksploitatif. Jadi, mengatakan bahwa teknologi selalu netral berarti mengiyakan bahwa teknologi kosong nilai dan tujuan—kan, konyol.

Ada perbedaan mendasar antara teknologi sebagai alat per se dan teknologi sebagai yang memperalat. Yang pertama seperti misalnya sebuah palu, yang menunggu “di sana” dengan sabar sewaktu-waktu kita datang membutuhkannya; sedangkan yang terakhir tidak, sebab, misalnya ponsel pintar, ia terus-menerus datang kepada kita “ke sini” dengan rayuan asmara, orasi politik, manipulasi psikologis, anestesi farmakologis, serta sihir abad pertengahan, yang kesemuanya itu disamarkan dengan cermat dan rapi hanya dengan cekling bunyi notifikasi. Kuping kita mendengar bunyi cekling, dengkul kitalah yang rasanya bergemetar, jantung berdagdigdug, dan otak kita melaju cepat memberi instruksi segera: “genggam ponsel pintarmu, bodoh!”

Tak dapat dielak, ada satu celah yang gagal kita baca jantung persoalannya dan sehingga masih dengan naifnya membuat kita berkeras kepala bahwa ponsel pintar itu netral, apalagi berkeras kepala bahwa ponsel pintar itu tidak pintar. Harus diakui bahwa kini ponsel pintar telah bermanuver mengkhotbahi dan mengindoktrinasi, membaptis dan mengafirkan, membongkar dan membentuk, serta mentransformasi dan bahkan mentransmutasi cara pandang, relasi manusia, sistem sosial, struktur politik, warna asmara, hingga darah kebudayaan kita.

Mari kita akui bahwa media sosial—yang dengan ponsel pintarlah kita menengkurapkan diri di atasnya—adalah satu jenis narkotika paling terselubung, yang jarang diketahui oleh khalayak umum, lebih-lebih para pecandunya. Ponsel pintar itu pintar, tak terelakkan. Malangnya, kita sebagai pengguna menjadi bebal, lebih dari kadang.

Bagaimana strategi ini bekerja? Mari kita ambil contoh paling sepele dan tak diindahkan. Bagian paling sepele dan sama sekali tak pernah diindahkan oleh para pengguna ponsel pintar adalah frasa “sedang mengetik” dalam kolom obrolan setiap kontak di WhatsAppatau tanda elipsis bergerak [...] di aplikasi lain.

Frasa atau tanda tersebut bukan tanpa maksud dan juga tidak bertolak dengan intensi kosong, melainkan itu satu bagian dari desain megah serta rapi dalam rangka me(mper)mainkan psikologi para pengguna untuk terus berlama-lama menunggu dan membuat mereka terbiasa dan dengan demikian merasa betah untuk tetap menatap layar yang amat membius serta menyihir ini.

Kecerdasan buatan (AI) dalam hal kecerdasan telah lama mengungguli manusia. Kini ia mulai sampai menyentuh pada titik lemah manusia agar bisa mengontrolnya, dan titik lemah tersebut adalah kecanduan kita terhadap dopamin yang dihasilkan dari aktivitas skroling.

Lebih dari itu, algoritma dalam kecerdasan buatan bukanlah sistem objektif, sebab ia diproduksi untuk, atau setidak-tidaknya ditunggangi oleh, kepentingan politik tertentu, dalam kasus ini: politika komersial. Dulu para feminis menyeru, “Yang personal adalah yang politis.” Mari kita perluas: “Yang personal adalah yang komersial.” Lebih mudahnya, dapat disimpulkan bahwa jejak digital kita adalah industri tambang yang nilainya jutaan dolar.

Ini bukan sekadar industri tambang belaka, melainkan juga naskah drama yang setiap dialog dan adegannya didikte dan diawasi langsung oleh penulis naskah dan sutradara. Aspek yang lebih luas tercakup di dalamnya, yakni aspek sosiopolitik dan bahkan cetak biru kepribadian.

Menggulir reels Instagram atau FYP TikTok, misalnya, dua orang di dunia yang sama menemui dua dunia yang berlainan sama sekali. Dua orang di rumah yang sama yang mengetik di mesin pencari Google, katakanlah, virus korona, akan mendapati dua lanskap algoritma yang sangat kontras: yang satu akan mendapati “virus korona itu hoaks”, yang lain mendapati “virus korona itu riil”.

Dari dua kontras algoritma itu, konsekuensi algoritmiknya adalah bahwa dua orang satu rumah tersebut menjadi terpolarisasi. Artinya, dua dunia yang secara mencolok berbeda sedang dihadapi oleh dua orang yang tinggal di dunia yang sama.

Seseorang yang melihat fenomena ini dengan pikiran pendek akan mengira bahwa bagaimanapun 'kehidupan daring' adalah kebebasan dan penuh kebebasan, menjadi tempat manusia menumpahkan kebebasan berekspresi. Menurutku kurang tepat jika ditinjau dengan pengamatan yang jeli, melainkan: “kehidupan daring” adalah perangkap kebebasan, bukan kebebasan an sich, yang artinya desainnya seolah-olah tempat kebebasan, tetapi algoritma dan industri iklan sudah menunggu siap mengintip serta mengejar kita ke pelbagai sudut, mulai dari selera makanan, jenis parfum, hingga baju apa yang semestinya kita pakai. Mau tak mau, kita membawa kehidupan daring ini ke kehidupan luring kita. Dua mode kehidupan ini kini tak memiliki gap lagi untuk tidak saling memengaruhi.

Kebebasan di dalam kehidupan daring adalah seperti Anda sedang berhadapan dengan seorang pesulap yang menyuguhkan kartunya untuk dipilih secara bebas, padahal nyatanya kartu tersebut telah ditata sedemikian canggihnya sehingga kita tidak sadar bahwa pilihan kita tidak lain adalah desain halus dari si pesulap itu sendiri, dan tak dapat dipungkiri bahwa seperti inilah algoritma bekerja, memberi perangkap afrodisiak mana yang paling kuat yang sesuai dengan minat berahi kitadan paradoksnya minat itu sendiri juga dibentuk secara sensitif oleh algoritma. Dengan kata lain, kita diperangkap untuk masuk ke kebebasan artifisial yang ditata secara rapi untuk mendulang kepentingan tertentu yang lebih besar dan mencengkeram. Ini semacam The Truman Show (sebuah judul film yang kita pakai sebagai istilah untuk merujuk pada kenyataan pahit bahwa hidup kita diawasi dan ditentukan oleh sistem tentakel rumit yang mendribel kehidupan kita).

Tetap berpikiranlah bahwa “teknologi itu netral” sampai kita tahu dan sadar betul bahwa pikiran semacam itu sebenarnya sama sekali tidak netral dan malah hasil dikte dari sistem pengetahuan tertentu—“pengetahuan adalah kekuasaan”. Kita tidak mungkin keluar dari matriks kalau kita sendiri tidak sadar bahwa kita sedang berada di dalam matriks.

Di era Frankenstein digital, kita adalah pohonnya, kita ini pausnya: kehadiran dan perhatian kita yang berjam-jam terus-menerus pada layar ponsel pintar itulah yang tengah dieksploitasi. Kita tak menyadari itu, lantaran kita sedang tidak merasa bahwa kita adalah pohon dan kita adalah paus.

Sumirnya, manusia daring adalah entitas algoritmik, yang setengah kepribadian dan eksistensinya dibentuk oleh tuntunan dan tuntutan algoritma, dan kita sepertinya belum memastikan apakah entitas algoritmik masih bisa disebut sebagai manusia seutuhnya. Ini kita belum menyentuh sama sekali soal muruah dan identitas manusia daring yang tentu amat berbeda dengan manusia luring saat medsos belum menjadi sebuah kehidupan, katakanlah, di dua dekade lalu. Contohnya: kini kita bisa jatuh hati pada seseorang hanya karena menatap foto-foto Instagramnya yang dibalur filter canggih yang melampaui kerja para perias di mana pun; dalam transaksi jual-beli, kini kita bisa memercayai untuk membeli sebuah sepatu hanya berdasarkan foto, tanpa pernah menyentuh dan mencobanya secara langsung; kebaikan kini lebih gampang direkayasa dan dipanggungkan di medsos, yang kemudian memengaruhi yang lain; suasana hati bergantung pada seberapa banyak yang menyukai dan merespons unggahan kita; dan masih banyak yang lainnya.

Seluruh konstelasi inilah poin fondasional, aku menyimpulkan, sebagai titik balik alasan mulai meredupnya kepercayaan bahwa kemanusiaan akan baik-baik saja.[]

/27-1-2023/

Posting Komentar

1 Komentar