Realitas yang menampakkan diri secara telanjang dengan serbaneka-ragam ini, bagaimana hendak disikapi?
Jika kita diam, kita menjadi terpaksa dilucuti lalu
diperkosa; tetapi ketika kita hendak menyikapi, kita seolah-olah menggagahinya,
ini tentu terlempar dari kesantunan sikap kita—dan juga perlu ditekankan bahwa
realitas akan menolak mentah-mentah mental justifikasi yang abal-abal.
Apa-apa yang ingin diungkapkan untuk “menyikapi”
realitas merupakan geliat yang terkausasi dari “objek transitif” yang
merangsang diri kita, sebab "realitas telanjang" tersebut benar-benar
harum dan menggoda. Namun, tidak pula boleh dinafikan, bahwa “apa yang
disuguhkan” oleh “realitas telanjang” tersebut benar-benar menampakkan “level-lapisan”
yang Tak-Berhingga.
Innatisme ala Platonian menjadi lajur konformitas yang
dideterminasi, [tetapi oleh apa?], sebab kausasi tersebut terniscayakan oleh
proses perandoman yang dilakukan oleh “level-lapisan” yang menampakkan dirinya,
dengan upaya penyaringan yang tak bisa ditebak, dikontrol, diregulasi, dan
diperiksa. Jika demikian lajurnya, memungkinkankah untuk memberlakukan presisi
verifikasi, apalagi falsifikasi(?)
Ini bukan bermaksud menyanggah bahwa peluberan recollection
Platonian atas innatismenya tidak memiliki kompleksitas yang demikian itu. Juga
perlu kita renungkan ulang, persoalan korelasi intensional, apakah “yang-memerantarai”-[mediasi]
hal-ihwal tersebut sehingga sanggup memiliki fleksibilitas dan elastisitasnya
untuk menangkap secara akuratif “realitas yang telanjang” tersebut.
Atau kita biarkan saja, tetapi pembiaran tersebut
bukan berarti melakukan eskapisme filosofis, karena itu akan kembali lagi pada
tragedi yang menyeret kita pada keterpaksaan untuk dilucuti dan diperkosa;
melainkan adalah “pembiaran murni” yang apriori; yakni kita tak tahu lagi
apa-apa [bukan tak mau tahu]... untuk diungkapkan... “Pembiaran murni” ini
berlaku agar terlaksana aktivitas “saling melahap dan melumat”. Tetapi
bagaimana?... Dengan berat hati, ingin kukatakan, jika sudah sampai di sini,
tak ada lagi pertanyaan “bagaimana”. Nah, bukankah ini meniscayakan kita
terjerembap lagi dalam problema di atas? Lalu pemecahannya ke arah mana? Apakah
perkutatan sirkulasinya harus demikian? Dan serentetan pertanyaan tak berhingga
lainnya. . .
. . . Maka tak pelak lagi, untuk kali ini, tanpa syak wasangka,
biar seorang penyair yang berupaya menjawab dengan ilhamnya:
“Biarlah yang tuli mendengarkan yang bisu,” celetuk
Emre, “karena hanya jiwa yang bisa memahami apa-apa yang tak terucap dan tak
terdengar.”
16/9/2017
0 Komentar