Ad Code

Responsive Advertisement

S o l i l o k u i

Puisi adalah bicara dengan diri sendiri. “Solilokui,” ujarmu menggetarkan sepi. “Kalau kau tak dapat memahami puisi, pergilah ke dalam diri, banyak puisi yang dapat dihayati,” lanturmu sendiri.

“Aku mencoba senantiasa menjaga rima dan irama dari kekacauan suasana dan nada. Puisi itu musik, kadang berisik, seperti desir angin menyaput pasir berkersik atau juga meluruh dedaunan bergerisik, tapi tetap memegang ritmik. Lebih dari lirik. Begitu pula bila kautulis prosa, jagalah nada dan ketukannya, sebagaimana dunia menjaga keseimbangannya, agar tidak binasa karena durjana semata. Tanda baca, tanda kata dan semesta. Pungtuasi, lambang bunyi dan sunyi.

“Aku akan kerap bercakapcakap tentang sajaksajak, tentang bagaimana sepasang sayap giat mengepak, tentang selantang senyap yang tetap tegak, walau dihalau angin yang kacau, atau diimbau acau yang parau. Tidak! Aku tetap berderap pada jalur yang tepat dan tak dapat beranjak dari sajaksajak. Memang yang puitis bukan semata agar romantis, apalagi sekadar necis, tapi agar ditahbis di meja Tuhan yang maha estetis,” coletehmu terburuburu dan tanpa ragu karena memacu tubuh diksi yang begitu utuh.

Lalu kamu dan aku bernawaitu mengadu bisu: katakata ditahbis jadi biksu.

*14/1/2019

https://pixabay.com/id/photos/pria-berkerudung-kayu-kabut-5356316/


Posting Komentar

0 Komentar