Ad Code

Responsive Advertisement

Selayang mempercakapkan cinta

“Kenapa harus ada benci, kekasih, bila cinta adalah muatan perahu kamu? Kemudikan!”

[]

/Ditulis pada Juni 2017/ 

anonim di Instagram.com

Cinta adalah anak dari rahim “kebebasan” dan tumbuh dewasa sebagai “kebebasan”—bukan anak dari “penguasaan”.

“Apa itu cinta?” Nah, ketika kita ditanya seperti ini, apakah kita hendak menjawab, “Cinta adalah di saat aku gemetar dalam pesonanya, sehingga degup jantungku terasa seakan-akan sedang lomba maraton dari kaki gunung ke puncak gunung,” atau kita hendak menjawab, “Cinta merupakan perasaan nyaman terhadap seseorang dengan gairah yang menenangkan, sehingga mendatangkan kebahagiaan yang tiada tara,” atau kita akan terpaksa menjawab, “Cinta adalah bla bla bla dan bla bla bla,” atau kita dengan terpaku menjawab, “Cinta tak bisa diperikan.”

Lepas dari itu semua, kita saat ini semestinya mengubah cara pandang kita mengenai cinta. Sebelumnya kita memahami cinta sebagai hubungan yang melibatkan perasaan mendalam terhadap seseorang. Mulai saat ini, kita mesti menganggap cinta sebagai seni. Iya, cinta adalah seni.

Ketika kita berbicara perihal seni, maka kita tak bisa lepas dari “latihan”-nya.[1] Misalnya, dalam seni tari, seni lukis, seni drama, ataupun seni tulis, kita tak bisa seketika menjadi seorang ahli lukis/pelukis atau tak bisa seketika mungkin menjadi ahli menulis/penulis tanpa perlu latihan. Namun, bukankah aneh jika kita mengatakan bahwa “cinta adalah latihan,” atau dengan perkataan lain, “cinta datang oleh karena kita latihan”.

Tentu ini memang aneh, tetapi yang kumaksudkan seni di sini adalah sebagai penumpahan “keindahan” yang dihayati. Ada juga pandangan psikologis kita yang keliru ketika kita secara narsistik menerjemahkan cinta sebagai “aku yang dicintai”; kebanyakan orang memang demikian. Semua orang dengan menggebu-gebu ingin dicintai, ingin diperhatikan, ingin menjadi sorotan khalayak publik. Biasanya ihwal ini kerap terjadi pada perempuan, sehingga mereka—atau mungkin juga laki-laki—dengan giat mempersolek diri agar terlihat menawan, lalu menjadi perhatian utama. Ini merupakan narsisme dan egoisme.

Bagaimana jika mulai sekarang kita ubah dari “ingin dicintai” menjadi “ingin mencintai”, agar kita tidak perlu repot-repot untuk berhasrat ingin diperhatikan dan menjadi sorotan utama. Lalu, “bagaimana cara mencintai?” … Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah nihil alias kosong, sehingga jangan pernah coba-coba untuk mencari di google mengenai “tips-tips mencintai seseorang”.

Pertama, karena “menikah itu nasib; mencinta adalah takdir,” kata Sujiwo Tedjo. Kita tahu bahwa kita secara bebas bisa memilih pasangan menikah kita, tetapi kita tidak bisa secara bebas untuk memilih siapa yang hendak kita cintai.[2] Kedua, cinta datang karena tiba-tiba alias mendadak, di saat kita merasakan letupan luar biasa untuk takjub terhadap seseorang; letupan takjub tersebut jika dikembangkan atau diinternalisasi secara psikologis, maka akan memupuknya menjadi tanaman cinta. Di situlah yang namanya “hati”, sebuah “taman cinta” yang kita pelihara sendiri.

Beberapa telaah mengenai cinta dari berbagai perspektif terkadang amatlah membantu untuk menjelaskan perihal cinta. Misalnya, dalam perspektif psikologi, cinta dianggap sebagai sebuah ekspresi seseorang yang dengan letupan emosional untuk menanggapi atau bereaksi terhadap stimulasi tertentu. Namun, kita harus tidak setuju terhadap definisi yang dilontarkan oleh Sigmund Freud, seorang psikolog-psikoanalisis. Freud menganggap cinta hanya sebagai hasrat libido atau seksual semata.

Jelas sekali bahwa Freud memenggal bentang cinta yang maha luas. Seolah-olah Freud ingin menyamakan manusia dengan binatang. Beralih dari situ, kita pun juga berhak bertanya, “Apakah binatang memiliki cinta?” Dalam pertanyaan ini harus kita ketahui bahwa binatang tidak memiliki kebebasan—kita sudah kemukakan di muka bahwa cinta adalah kebebasan. Sementara, binatang dikendalikan oleh instingnya semata, sehingga ekspresi cintanya sekadar luapan instingtif untuk melakukan regenerasi, bukan sesuatu yang melampaui itu.

Perlu diingat bahwa kita juga tidak bisa membatasi cinta dalam lingkup perasaan antara laki-laki dan perempuan. Cinta sifatnya universal, bisa luapan persaudaraan, persahabatan, ataupun kesemestaan. Meskipun juga, hubungan antara laki-laki dan perempuan memiliki spesifikasi tersendiri dalam emosi cinta.

Ketika seseorang sedang “jatuh cinta”, ia berarti ingin melakukan “penyatuan” dengan yang dicinta. Ini adalah puncak cinta yang terjadi pada seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Lalu, “apa itu penyatuan?” Penyatuan di sini tidak bisa dipahami sebagai penyatuan fisik, melainkan penyatuan eksistensial, yakni kedirian kita ingin melebur melampaui alam fisikal kepada yang kita cintai.

“Cinta adalah kreativitas,” kalau kita setuju, karena cinta menjadikan lahan garapan laksana sawah yang mampu menumbuhkan padi dan jagung. Kata pepatah kuno, “hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam,” itu artinya hidup kita tidak gurih bila tanpa mencintai. Pertanda bahwa kehidupan seseorang memiliki arti bila ia memiliki cinta—cinta terhadap siapapun.

Kita bisa menggolongkan beberapa pola cinta. Pertama, libido. Cinta ini orientasinya hanyalah seksual semata, layaknya binatang; tentu manusia yang orientasi cintanya masih pada tahap “libido” berarti ia masih seperti binatang. Kedua, philia, yakni cinta persaudaraan. Cinta dalam lingkup ini melahirkan kemaslahatan masyarakat bersama.

Ketiga, eros, yakni dorongan cinta untuk berkreasi menuju arah kehidupan dan hubungan yang lebih tinggi. Istilah eros ini kerap kali pantas dibubuhkan untuk cinta antarlawan jenis (yakni antara seorang laki-laki dan perempuan). Keempat, agape, yakni lingkup cinta religius dan mistikal, seperti cinta seseorang kepada Tuhan—atau apa pun yang kita hayati sebagai Realitas Ultim. Dengan kata lain, cinta agape ini bersifat murni tanpa pamrih, seperti cinta Tuhan kepada makhluk-Nya—persoalan ini akan kita bahas dalam kesempatan lain.

Cinta itu borok dalam jiwa, dengan rindu sebagai pisau yang menusuk-nusuknya.[3] Cinta adalah seloki anggur yang memabukkan, menutup kedua mata kita, membuntu lorong kesadaran, dan memberikan sayap untuk dapat terbang,[4] karena cinta membebaskan bukan memenjarakan. Cinta harusnya membakar lalu mengorbankan pencinta di hadapan api rasa yang senantiasa berkobar.[5]

Cinta datang dari dada kiri yang menggetarkan seluruh tubuh,[6] menggelinjangkan detak dari detik waktu. Kita mencicipi semua rasa, “rasa dari segala rasa”, renjana dan pilu menjadi satu. Namun, semuanya takkan dapat dijelaskan dan digamblangkan, “karena dalam getaran cinta, lidah harus menjadi seribu bisu untuk tercekat kelu”.[7]

[]

“Telah kuberikan 1001 macam penjelasan tentang cinta; tapi ketika cinta  itu  datang, aku malu dengan semua penjelasan tersebut.” –Rumi

“Bisakah kita menyunting “mawar” melalui kata M.A.W.A.R? –Kamu baru menyebut nama,  carilah yang  empunya nama!” –Rumi

“Dalam badai Cinta, akal hanya seekor serangga; Maka, mana mungkin bisa akal temukan ruang untuk mengarunginya?” –Rumi

Amore e’l mor gentil sono una cosa (misteri cinta berpasangan dengan misteri pengetahuan)” —Dante

——————

[1] “Bakat terbentuk dalam kesunyian gelombang kesunyataan; Watak terbentuk dalam riak besar kehidupan.” –Goethe

[2] Lalu, bagaimana dengan pepatah kuno yang berbunyi “tresno jalaran soko kulino”?

[3] Tidak mungkin seorang pencinta tidak rindu kepada kekasihnya. Laksana rembulan yang mendamba kehadiran malam; tanpa malam, tak mungkin benderang rembulan dapat nampak – Bagaimana cara mengobati rindu? | Bongkarlah dinding hijabmu!

[4] “Kata akal, ada batasan dan tak ada jalan; kata cinta, ada jalan dan aku telah datang berkali-kali.” –Rumi

[5] Ia ibarat laron yang terbakar karena merindukan api sepanjang hidupnya; padahal, ia tidak pernah terbakar.

[6] Di dada kirimu, oleh Cinta, semesta dirangkum dengan degup jantung, yang rapal relungmu mengapung, ‘tuk tenggelam di lembah rahasia kekasih.

[7] Dengan apa “cinta” dapat digamblangkan bila ia selalu mendiamkan tiap-tiap kata dan telanjang dari segala bahasa?

Posting Komentar

0 Komentar