Ad Code

Responsive Advertisement

Tuhan, secara apa adanya, bukanlah ...

Tuhan, secara apa adanya, bukanlah “sesuatu” yang perlu didefinisikan, diatribusikan, dan disemati dengan simbolisme apa pun. Tuhan dalam persepsi manusia, umumnya, dicanangkan sebagai sesuatu bak mercusuar di atas sana: yang paling kuasa, paling perkasa, paling sempurna.

Tuhan dalam epistemik emosional dan sentimentil manusia menjadi “Sesuatu” nan menguasai segalanya, atau ringkasnya sebagai Sang Pencipta dan Yang Maha. Demikianlah lanskap mainstream—menyitir teori Willhem Schimdt—bahwa pada mulanya tradisi monoteisme manusia adalah yang paling tua, sebelum mereka mulai menyembah dewa. Dalam rumpun Abrahamik, monoteisme menjadi akar fondasi dasar dari implementasi keagamaan.

/ditulis pada 7 November 2016/


Beralih pada potret keagamaan umat Islam, yang menjadi begitu filosofis ketika telah vis-à-vis dengan kultur luar, di sinilah absorpsi atas Helenisme lampau dan operasi penerjemahan korpus-korpus Yunani dilakukan oleh rezim ‘Abbâsîyah. Pada titik ini, umat Islam mulai merangkai kanopi pandangan paradigmatik dengan asimilasi naṣ; Pada titik lain, na sendiri telah merangsang umat Islam untuk selalu melakukan eksplorasi via kogitasi-inteleksi. Hal tersebut terbungkus menjadi sebuah perjalanan umat Islam dalam panorama klasik.

Selain itu, ada perjalanan yang sedikit bisa dikatakan agak berseberangan dengan tradisi filosofis tersebut. Ialah tasawuf (sufism), dimensi esoteris Islam yang keluar sebagai bayi spiritual dari kesinambungan asketik umat Islam pada awalnya. Ritme subtil tasawuf sebelumnya hanyalah kemasan wacana dari sufi ke sufi. Selang bergantinya waktu menjelma sebuah gagasan mistiko-filosofiko-metafisiko dan menjadi aspek ontologis dalam paradigma filsafat, yakni filsafat Islam.

Seperti yang dilansir Murtaa Muahharī, terdapat distingsi antara taawwuf dan ‘irfān. Taawwuf sebagai aspek sosial dari ‘irfān. Seseorang disebut ‘arif bila ia mahir dalam ilmu ‘irfān, sedangkan ia akan disebut ṣūfi bila ia berkecimpung dalam kelompok sosial tertentu. ‘Irfān memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktis ‘irfân merupakan tidak lain dari tindak sayr wa sulūk, sedangkan aspek teoritis ‘irfân memfokuskan pada ranah ontologi, tidak lain adalah konstentris eksplikasi terhadap bahasan ontologi Tuhan.

Adalah Ibn ‘Arabî, seorang ‘arif (ahli ‘irfān) yang begitu getol dalam karya-karyanya mencuatkan bahasan Tuhan dengan cukup kontroversial. Perjalanan Ibn ‘Arabi dalam dunia tasawuf begitu mencengangkan. Ia telah kashf di kala mudanya, tidak mengherankan bila eksperiensialnya tersebut melambari dan menjadi aposteriori hingga melahirkan kompleksitas gagasan ‘irfāni yang ultim namun runyam dan rumit, paling kontroversial ketika menyoal term wadat al-wujūd—sekalipun term ini tidak berasal darinya—yang senantiasa dibubuhkan sebagai doktrin kulminasinya.

Menyitir ulang istilah Mulyadhi Kartanegara, Ibn ‘Arabī membagi Tuhan dalam dua level (wajah). Level pertama Tuhan dalam kesendirian-Nya, kesendirian Esensialitas primordial yang hanya diri-Nya nan ada. Di sini, Tuhan tidak dapat terdeteksi bagaimanapun, bahkan Dia belum bisa diatribusi atau digelari sebagai “Tuhan”.

Dia dalam kesendirian-Nya tidak menampakkan simbolisme apa pun untuk bisa dicandrakan. Oleh sebab itu, Sang Mutlak atau al-Haqqmeminjam istilah teknis Ibn ‘Arabī—secara mutlak tidak dapat dikonsepstualisasikan, lebih-lebih dihampiri. Sang Mutlak dalam transendensi absolut tidak bersyarat (unconditional); Sang Mutlak dalam transendensi non-kondisional ini dikatakan berada pada tahap “keesaan” (aadiyyah), belum terdapat tajallī sama sekali. Lantaran secara aktual belum terjadi tajallī, tidak ada yang bisa dikenali di sini. Di sinilah wilayah “negativitas” Tuhan.

Tajallī Sang Mutlak mulai berlangsung pada level selanjutnya. Dia baru dapat disebut sebagai sumber ber-tajallī disebabkan atas pathos luapan rindu-Nya untuk dikenal oleh selain-Nya. Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa Dia tidak selamanya tidak dapat dikenali; pada titik ini, Dia juga mengenalkan diri-Nya kepada yang selain-Nya. Jadi, “ketuhanan” pada level pertama, Tuhan yang tak ternamai dan sepenuhnya negatif (al-ulūhiyyah) menjadi “ketuhanan” yang dikenali (al-rubūbiyyah).

Konsepsi tajallī memiliki relevansi dengan konsepsi wujūd, dan berkonsekuensi pada implikasi wadat al-wujūd. Dalam konteks ini, relevansi itu kentara disebabkan karena relasional keduanya dengan sifat negativitas dalam Dia sendiri, di satu sisi, dan yang pasti berkonsekuensi logis adanya sifat positivitas, di sisi lain. Sampai sinilah, Tuhan menjadi atau dapat dicanangkan dan diatribusikan sebagai “Tuhan” disebabkan penampakan-Nya terdahap dunia realita yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri—dunia realita tempat di mana diri-Nya menampak dan berada, dan adalah aktivitas diri-Nya becermin pada diri-Nya sendiri.

Kompleksitas gagasan-gagasan Ibn ‘Arabī nan bernas ini seolah menjelma payung kanopi untuk melambari dan memayungi rentetan gagasan mistikus-mistikus belakangan. Ibn ‘Arabī seorang sufi yang kontroversial dengan gairah prolifiknya dalam berkarya, dan karyanya tidak sekadar celotehan kata-kata, melainkan adalah sebuah internalisasi atau penghayatannya terhadap hakikat makna terdalam atas realitas.[]

Posting Komentar

0 Komentar