Aku hanya mampu berharap kau membacaku, seperti di kala kau membaca buku-bukumu, membaca jagat rayamu. Kemarilah! Membaca gelagat rayuku, menyembuhkan sembah canduku, yang bungkam dan kuyu.
Ketahuilah sebuah rahasia dari tungku panas yang
membakar dada, lelatu yang cukup kau pantikkan dengan “iya”-mu. Maka, segera
aku akan mendidih, melesap dari ambang pedih. Sungguh, harusnya kukatakan
padamu, bahwa diriku adalah keseluruhan tulisan tentangmu: Nawala patra untukmu
semata, yang belum terbaca. Meski kau tak setuju, tak apa, karena harapan tak
musti terkabulkan.
Saksikan sekali lagi, dengan hati terbuka jeli, akulah
anai-anai yang kau abai di kayumu, tak pernah dengan gamblang gerogoti tubuhmu.
Aku selalu Zulaikha yang identitasnya diteguk Yusuf, karena cinta adalah minum
yang tak kenal haus.
Tak apa. Mungkin kau tak pernah merasakannya, atau
mungkin karena ketiadaan wujudku yang nyata di mata. Tapi …
Biarkan saja aku diam-diam berdansa di sekelilingmu,
seperti gelombang menggoda pusaran. Hingga pada akhirnya tepergok olehmu, lalu
kau terus-terang berkata, “Pergilah, Ngga! Kau tak tahu cinta. Yang kau rasakan
hanyalah cangkang.” Saat itulah, harapku sirna, kau usir, aku tersisir.
[Untuk perempuan yang setangkai kembang dalam nyawa
penghabisan: Dengarkan!]
0 Komentar