Ad Code

Responsive Advertisement

Bahasa[-Rompal] dan Perlunya Pembuktian Adanya Tuhan

Pemahaman tentang Tuhan merupakan pemahaman yang mendasari diskursus filosofis, sebagai telaah bahasan dari bahasa; tetapi untuk artikel ini, penulis mengesampingkan sementara, representator dari filosof analitik seperti Russell dan Wittgenstein I maupun Wittgenstein II, agar tidak berbenturan, demi mengelaborasi “bahasa Ada” dalam terang Skolastik. 

Memang menjadi problema Skolastik, bahwa “ada” dijuntrungkan dalam term-term teologis. Cukup relevan kiranya, sebagai tatanan yang kokoh terhadap konstruk teologis. Namun, itu tidak berarti ia tidak akan pernah terjatuh dalam problema skeptisisme, yang implikasinya memang kentara.

Bahasa Ada sebagai Fluiditas (Language of Being as Fluidity)

Tuhan merupakan aksiomatika qua aksioma yang niscaya-ada—dalam filsafat Skolastik. Problema yang hadir di sini dalam lorong skeptisisme kontemporer adalah persoalan [bahasa]-“ada”. Memang tidak dapat dihindarkan, bahwa manusia melakukan interaksi horizontal terhadap fenomen-fenomen melalui bahasa. Itu sah, dikarenakan satu-lanskap horizon dalam derajat yang setara. Akan tetapi, kerancuan mulai muncul ketika manusia membahasakan Tuhan; “Tuhan ada”. Menjadi polemik filosofis jika postulat dasarnya adalah Tuhan Maha Sempurna atau “Dia tidak ada yang menyerupai”. Lalu, mengacu pada ‘apa’[?] term “ada” yang demikian.

Bahasa Univok

Bahasa univok—dalam pengertian disiplin logika—adalah term yang dipakai untuk dua entitas dengan merujuk pada maksud yang sama dan setara. Bahasa univok memiliki kelemahan bila kita mengaksiomatikakan: “Dia Maha Sempurna”, lalu diterapkanlah “bahasa manusia” pada kedirian-Nya. Implikasi logis dari univokalitas ini adalah penyetara[f]an antara manusia-[atau ada-ada yang lain] dengan Tuhan.

“Tuhan Maha Bijaksana”: ini mengingatkan proyeksi kita pada sifat bijaksana yang dilakukan oleh manusia. Jika univokalitas berlaku dalam membahasakan-Nya, konsekuensi-logisnya adalah antropomorfisme yang utuh. Tetapi, apakah berlaku penghindaran antropomorfisme tersebut hanya dengan imbuhan “maha”.

Barangkali jawabannya adalah positif. Hanya saja, proyeksi kita terhadap ihwal ‘bijaksana’ tetap terpantulkan pada tipologi manusia yang memang secara universal terstandardisasi oleh konvensionalitas mengenai “bagaimana” sifat bijaksana itu. Begitu pula secara ontologis, kita akui bahwa “Dia ada”; tetapi kata ‘ada’ di sini menyiratkan ketercelupan antropomorfis terhadap ‘ada-ada yang lain’. Padahal, secara teologis, kita mengimani bahwa Dia adalah ‘wajib al-wujud bi dzatihi’ (ens a se), sedangkan selain-Nya, menjadi wajib al-wujud li ghayrihi (ens ab alio)…[?]

Bahasa Ekuivok

Bahasa ekuivok—dalam pengertian disiplin logika—adalah satu term yang digunakan tetapi dengan memiliki arti yang sama sekali lain atau benar-benar berbeda. Bahasa ekuivok memiliki kelemahan juga, yakni membawa kita pada ketergelinciran dalam agnostisisme teologis.

Jika kita mengatakan “Tuhan bijaksana”, dengan menegaskan arti bijaksana yang seratus persen berlainan, maka ini merupakan ketidakberartian bahasa dan juga bahasa tidak mampu mengoperasikan dirinya untuk merujuk fakta objektif. Penyangkalan terhadap arti bijaksana tersebut, dikarenakan dalil teologis “Dia tak serupa dengan apapun”, mampu membawa seseorang yang beriman menuju samodra agnostik.

Apakah dalil tersebut adalah salah [dalam bahasa Alquran: ‘Laysa kamitslihi syai’]? Jawabannya adalah negatif. Karena serentak dengan ayat tersebut, Tuhan melanjutkan dengan penampakan antropomormis-Nya sendiri yakni: [wa huwa al-sami al-bashir], “dan Dialah Maha Mendengar dan Melihat,” namun harus sirkuler-kembali pada ‘laysa kamitslihi syai’—begitulah agar mondar-mandir [antara tasbih-tanzih] untuk seterusnya.


Ihwal di atas membawa kita pada peran “bahasa analogis”. Perihal bahasa analogi ini diperlukan agar kita tidak terjebak dalam antropomorfmisme teologis di satu sisi, dan tergelincir dalam agnostisisme teologis di sisi lain.

Bahasa analogi mengoperasikan dirinya untuk memahami tingkat gradasi dan intensitas kedirian wujud dalam pengungkapannya. Jika diterapkan pada wilayah manusia, ia berlaku sebagai infra-human, sebagai akomodir dari pengungkapan fenomena manusia atau tingkat wujud yang lebih rendah; sedangkan untuk penerapan pada ‘Yang Maha’, maka dioperasikan bahasa sebagaimana adanya dengan grafis 'supra-human' yang merujuk pada Tuhan yang nir-batas dari ungkapan bahasa.

“Pembuktian Adanya Tuhan: Perlukah(?)”

Hanya saja, bagiku dan bagi kita [yang beriman], eksistensi Tuhan tidak perlu dalil-dalil sahih, atau seperti penemuan-penemuan (g-spot) ala (pseudo)sains era New Age Movement, dan tidak butuh untuk dibuktikan dalam uraian primitif—tetapi ini bukan sebentuk apologetika untuk menikmati eskapisme filosofis.

Sering kali para filosof bekerja demikian, mulai Aristoteles, filosof Islam seperti al-Kindi, hingga filosof Italia bernama Thomas Aquinas dengan rasionasinya, padahal seharusnya, ‘sudah tidak perlu lagi’, apabila ‘ada-Nya’ menjadi postulasi paling primordial. Sekarang, semua dalil-argumentatif, yang menunjukkan keberadaan Tuhan melalui maujud-alam terbantahkan oleh aforisme sufistik dari Ibn Atthaillah al-Sakandari melalui munajatnya:

“Ya Tuhan, bagaimana maujud-maujud ini bisa kujadikan dalil untuk menunjukkan keberadaan-Mu, lawong maujud-maujud yg beragam ini bergantung pada-Mu. Apakah ada selain-Mu, O Tuhan, yang bisa menampakkan diri-Mu sendiri, karena hanya Engkau yang bisa menampakkan segala sesuatu, Lakok aku malah menganggap alam sebagai faktor dan wahana untuk menunjukkan keberadaan-Mu, dan juga absurd sekali jika aku malah berusaha menampakkan diri-Mu melalui alam, padahal alam bermaujud ini bergantung pada-Mu, O Yang Maha Nampak dan Yang Maha Menampakkan.”

Begitula petikan munajat sufistik dari Ibn 'Aththaillah sebagai penutup dari tulisan absurd ini.[]

Selamat dinihari

^Ditulis pada 1/2/2018

 

Posting Komentar

0 Komentar