Dewasa ini berpikir kritis (critical thinking) dianggap sebagai mahligai mewah sekaligus senjata prima mengingat kavaleri informasi yang tak terfilter benar tidaknya bisa memuslihati dan memerosokkan siapa saja. Namun demikian, sungguhkah berpikir kritis itu paling ultim? Apakah berpikir kritis itu cukup?
Pertanyaan sederhana di atas tentu
sebentuk pelampauan terhadap berpikir kritis.
Berpikir kritis sejauh ini dianggap senjata prima yang
diterima begitu saja, yang artinya penerimaan itu sendiri menunjukkan
ketidakkritisan terhadap nomenklatur “berpikir kritis”. Ini contradictio in
terminis: kita diajarkan untuk berpikir kritis tetapi tidak ma(mp)u
berpikir kritis terhadap “berpikir kritis”.
Dengan begitu, berpikir kritis tampaknya sama sekali
tidak cukup. Ia hanyalah nomenklatur dan/atau aktivitas yang amat mentah. Ingin
kutegaskan secara kasar, orang-yang-kritis-belaka hanyalah
orang-yang-tidak-kritis-terhadap-berpikir-kritis. Dengan demikian, kita
memerlukan sematan atau nomenklatur bertumpuk: (berpikir) kritis terhadap berpikir
kritis.
Bahkan, menurutku itu masih sangat belum memuaskan.
Mari tambahkan: (berpikir) kritis
terhadap-berpikir-kritis-terhadap-berpikir-kritis. Sebetulnya ini juga belum
cukup! Kita bisa lapisi sebanyak-banyaknya, singkatnya: kritis terhadap
kritisisme terhadap kritisisme terhadap-terhadap-terhadap-terhadap- dan ribuan
lapisan seterusnya.
Sejauh seseorang berhenti kritis terhadap ribuan atau
bahkan jutaan lapisan kritisisme, sebenarnya ia tak lebih dari seorang dogmatis
yang hanya bertopeng nomenklatur “berpikir kritis” (critical thinking).
Buhulku, ketika seseorang berpikir kritis, misalnya
dalam rangka menolak A, jelilah, barangkali ia sekadar seorang dogmatis dalam
hal menolak A. Jadi, berpikir ktitis sama sekali bukan mahligai mewah, apalagi
senjata prima, sebagaimana yang diduga dengan penganggukan dogmatis selama ini.
Mari terus menggeleng![]
19/11/2022
0 Komentar