Ad Code

Responsive Advertisement

Betapa pun sengsaranya, tujuan menikah ialah menjadi filsuf

Salah satu tujuan menikah adalah menggapai kebahagiaan bersama kekasih yang diidam-idamkan. Namun, nyatanya tidak semua orang benar-benar sanggup menggapai hal itu.

Sokrates, seorang dukun canggih dan andal di era Yunani Kuno, yang dikenal sebagai guru Plato, ahli klenik yang lain, menyarankan agar seseorang tetap menikah. Menurutnya, dalam keadaan apa pun, seseorang harus menikah.

Pernikahan memang komitmen sepasang kekasih untuk saling bekerja sama menggapai kebahagiaan. Lalu, bagaimana kalau pasangan kita ternyata tak membawa kita ke sana? Kekhawatiran semacam itu tentu tak harus menghalangi seseorang untuk menikah. Sokrates berkata, “Menikah atau tidak menikah, bagaimanapun, Anda akan menyesal.” Itu artinya bahwa menikah dapat membuat seseorang menyesal, karena, misalnya, seseorang ternyata tak mendapati sifat-sifat kekasih sebagaimana yang diidam-idamkan sebelumnya. Selain itu, bahwa tidak menikah juga membuat seseorang menyesal, sebab seseorang benar-benar melewatkan satu hal yang seharusnya patut dicoba dijalani atau dialami secara langsung.

https://www.meisterdrucke.ie/
Istri Sokrates, Xanthippe, bukanlah istri idaman pada umumya. Ia dikenal memiliki watak yang cerewet, pemarah, dan judes. Tetangga-tetangganya menyebutnya “nenek sihir”. Sokrates menikahi Xanthippe dengan maksud mengubah Xanthippe menjadi lebih baik, tetapi ternyata tidak berhasil. Malahan, yang diubah Sokrates ialah dirinya sendiri.

Menurut Sokrates, kendati seseorang kelak mendapatkan istri buruk, ia tak perlu menghindar dari hal itu, apalagi menghindar dari pernikahan. Sokrates menegaskan, “Bagaimanapun, jika Anda mendapatkan istri yang baik, Anda akan bahagia; jika Anda mendapatkan yang buruk, Anda akan menjadi seorang filsuf.”

Bila seseorang tak mendapat kebahagiaan di dalam pernikahannya karena faktor pasangannya, itu bukan berarti bahwa ia benar-benar tidak mendapat apa-apa. Bagi Sokrates, justru hal itu akan mengubah seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih tinggi, yaitu rela menerima betapa buruknya watak pasangannya. Makanya, seseorang yang tidak mendapat pasangan yang sempurna—dan memang tak ada yang sempurna—akan dapat mengubah dirinya menjadi seorang filsuf. Seseorang yang memiliki pasangan buruk akan terus belajar memahami pasangan lebih jauh dan mencoba membuat memahamkan diri sendiri.

Seperti Sokrates yang selalu menghadapi pelbagai masalah dalam rumah tangganya, setiap orang yang menikah tak melulu mendapat kebahagiaan yang didamba-dambakannya. Justru ketika berbagai problem rumah tangga menyeruak, seseorang terus dapat menempa dan membuka diri untuk menerima pasangannya secara utuh.

Dalam keadaan seperti ini, seseorang mentransformasi dirinya menjadi filsuf, yang terus belajar dari setiap detail kekurangan pasangannya dan mendorong dirinya untuk adaptif dengan kondisi semacam itu. Meski tak dapat merasakan kebahagiaan dalam arti paling umum, ia terus merasakan kebahagiaan dalam arti tertingginya sebagai seorang filsuf yang telah membelalakkan mata.[]

^Ditulis pada 22/6/2022

Posting Komentar

0 Komentar