“Bullshit!” selorohmu begitu saja.
Kau masuk
pontang-panting, kusambut kau merinding. Melihatmu seperti orang sakau,
perabotan rumah rontok berdesau. Atau kau sedang mabuk, lalu “bullshi” adalah
puisimu satu baris yang kau bacakan padaku dengan cerca. Itukah stanza? Sungguh
aku ingin muntah. Kamu sudah seperti penyair sini, yakni Sutardji, si pemabuk
wiski, si pemabuk puisi.
Sudah dua hari ini
kau tidak pulang. Kau bilang ingin berkunjung ke perpustakaan. Pulang-pulang
kau kacau. Begitu juga aku, dua hari kau pergi, kini kau bawakan aku satu kata,
“bullshit”. Ingin kugamit tanganmu yang bergelapar, kupegangkan ke dadaku yang
memar, karena dua hari menunggumu dengan rindu hanya di bawah satu damar. Dua
hari. Dua hari kau lari. Barangkali bukan ke perpustakaan. Atau kau sudah dapat
pengganti diriku ini.
*
“Ada apa sayang?”
balasku menenangkan.
“Jangan panggil ‘sayang’!
aku ingin merdeka.”-
Kukira kemerdekaan
itu cuman persoalan kopi, rokok, dan ketenangan. Kenapa hanya dengan panggilan ‘sayang’
saja kamu sudah terasa tergugat. Terasa kepalamu terinjak?
Ini musim apa?
Setahuku tadi banyak laron. Atau itu cuman khayalku saat bengong. Laron-laron
yang tadi memutari neon, terasa dikunyah oleh satu katamu yang melonglong.
“Sudah kita tidak
perlu saling mencinta. Aku muak. Pikiranku penuh arak,” cetusmu sembari
membereskan seluruh perabotan, mulai dari beha hingga celak mata.
“Lho, maksudnya?”
jawabku segera.
*
Kita memang belum
menikah. Kita tinggal berdua di rumah yang rimbun sudah setahun. Tiba-tiba kau
ingin buyarkan jagat yang bersama-sama kita bangun?
Aku tak paham
jalan pikirannya. Dua hari di perpustakaan, hanya mendapat tingkah yang garang?
Kau baca buku apa?
Bukankah seharusnya membuatmu tambah bijaksana?
[Aku terus
bergumam tanpa suara]...-
“Sudahlah. Kita
lupakan cinta. Kalau aku cinta kamu, kamu jadi bonekaku. Begitupula kalau kamu
cinta aku, aku jadi bonekamu. Aku ingin merdeka. Aku bukan boneka. Toh kamu
juga tak ingin jadi boneka. Kita adalah manusia.” Jelasmu dengan gamblang.
Aku hanya diam.
Tak sedikitpun mencegah, karena penjelasanmu yang tak jelas mencegatku
mencegahmu.
Kau angkat kaki,
dengan tas jinjing. Kau hanya meninggalkan jejakmu hingga seluruhnya hening.
*
Aku masih ingat
katanya, “Kita adalah manusia.” Duh, apa maksudnya. “Kita adalah manusia,”
[tanpa cinta?] … Karena cinta membuat kita jadi boneka?
Apa maksudmu?
Sialnya aku hanya pria yang bebal, tak sedikitpun tahu maksud dari sebuah
amsal. Amsal boneka. Aku hanya pria. Ah!
-
Hanya rela. Karena
cinta aku belajar rela. Selain penggalan amsal boneka, amsal yang turut
memenggal hubungan kita.
Bukankah suatu
pertemuan pasti berakhir perpisahan?
Dan hanya
perpisahan yang menarik kita pada sebuah pertemuan. [Seperti ‘azali’ yang
mempertemukan kita kelak di ‘abadi’]. Ini aku belajar dari Rumi, dari
serulingnya yang lirih. Tapi boneka, kau belajar dari siapa?
…
(Selasa yang
manja, di sebuah warkop yang klop).
Ditulis pada 9/2/2018
0 Komentar