Di tahun 2100 seseorang akan menulis tentang Indonesia dan mencandrakan titik mana yang menaja kecentang-perenangan Indonesia di tahun 2090. Dan ia menemukan bahwa penyebabnya adalah perpindahan ibu kota.
Si penulis itu, kendati telah menskrutinisasi secara
rigoris dan mendangir tiap detail sketsa sejarah yang merangkak perlahan, tetap
saja terhuyung-huyung di atas kolam pengandaian yang cukup keruh. Tak syak
bahwa ia beranggapan bahwa sejarah-yang-bergulir-terus-menerus-tak-menentu-itu
menjangkar pada akar umbi yang tembus pandang serta kecentang-peranangan itu
mestinya tak terjadi bila apa-yang-diandaikan-sebagai-akar-umbinya-itu tak
menyembul begitu saja.
Penulis di tahun 2150 akan memenda buku si penulis di
tahun 2100 dan mengetengahkan bahwa kejadian-kejadian tampaknya bersifat tunak
dan ajek, padahal mereka sungguh serampangan, silang sengkarut, dan amat samar
untuk dapat menerakan kausalitas. Orang-orang pandai merasa bisa membekukan
rentang-waktu-yang-sedemikian-melompat-lompat menjadi titik baku suatu
ilustrasi dan genderang panjang kakofoni yang penuh ketaksaan dan kereduman.
Penulis di tahun 2100 hanya dapat mengungkai-ungkai
secara meyakinkan--sesudah kejadian. Ia bukan buku sejarah, melainkan ulasan
prediksi. Sementara, seseorang di hari ini dan di tahun 2060 sama sekali tak
mengerti apa yang diutarakan si penulis di tahun 2100.
Sejarah, sesuatu yang terjadi di masa silam, kendati
telah dapat digambarkan garis-garis dan jalur-jalurnya secara utuh, sebenarnya
hanyalah permainan prediktabilitas. Sebagaimana kita mengintip masa depan baik
dilakukan oleh data analis maupun cenayang, baik melalui statistika maupun
horoskop dan nujum, sejarah masa silam yang kita lukiskan adalah ramalan
(prediksi), dan dengan demikian sejarah ialah segala sesuatu yang memuat
prediktabilitas. Sejarah (satu predikat): “nirpresisi”.
*17/6/2022
0 Komentar