Ad Code

Responsive Advertisement

Fenomenologi Edmund Husserl dan Tanda Kurung {}

Setelah dijatuhkannya bom dari August Comte yang meluluhlantakkan dua hierarki ilmu di bawah positivisme (yakni teologi dan metafisika), di situlah mulai—seperti anggapan Edmund Husserl—adanya krisis ilmu di Eropa. Terobosan positivisme ala Comtian dianggap Husserl memiskinkan epistemologi secara internal yang kemudian menggoyahkan berpijaknya teori-teori ilmiah dan secara eksternal menyeruaknya kabut konsekuensi penerapan ilmu dalam kehidupan sosiokultural.

*Ditulis pada 11/3/2018

Hierarki ilmu dalam lensa Comte beranjak dari episteme teologi yang dianggapnya begitu primitif, sebagai masa kanak-kanak epistemik manusia; lalu menuju metafisika yang amat spekulatif di Abad Skolastik sebagai masa remaja epistemik manusia; hingga ke dalam ancangan kedewasaannya, yakni positivisme epistemologis.

Perlu ditekankan bahwa Comte mengalami ambiguitas penolakannya terhadap dua hierarki ilmu yang pertama. Ketika Comte ingin mengulurkan bentang ilmu untuk dipositivikasikan, dengan berbagai metode yang rigid, ilmu menjadi sebentuk kacamata buram yang berhadap-hadapan dengan kabut tebal yang menutupinya.

Comte menginginkan episteme berjalan di tepi jurang yang dipenuhi kabut tersebut agar melanglangkan dirinya pada tindak-tanduk observasional yang kasatmata. Anehnya, Comte menolak yang pertama dan yang kedua untuk menggerus habis episteme lampau tersebut dengan kesegaran baru yang malah tidak bisa melampaui dua episteme tersebut.


Husserl pun melonjak dari kamarnya, melihat huru-hara dari canangan positivikasi yang berkonsekuensi tragis pada langkah eksploitatif: “ilmu bebas nilai”. Perihal ini kelak akan kita jumpai pada Thomas Kuhn untuk ikut andil merevolusi paradigmatika yang ada, begitu juga seperti yang disuguhkan “paradigma baru” yang direpresentasikan oleh Frithjof Capra.

Setidaknya, mulai Wilhelm Dilthey, Husserl, hingga Weber, serentak bertolak-belakang untuk merespons positivikasi tersebut. Mereka menjargonkan bahwa ilmu tidak bisa lepas dari nilai dan makna, karena ketika ilmu lepas dari “roh” tersebut, maka geisteswissenchaften akan mengalami reifikasi dan kekeringan spirit untuk menjawab persoalan-persoalan tentang kehidupan, yang dalam lensa positif hanya teraksentuasi berkutat pada aspek empirik dan kuantitatif. (Contoh sederhana cara pandang kuantitatif adalah seperti gedung-gedung kampus yang bagus-bagus dan menjulang ke langit, tetapi belum tentu mahasiswa-mahasiswanya sebagus dan semenjulang gedung-gedungnya. Hehe: introspeksi).

Husserl tidak mandek menolak positivisme ala Comte, tetapi juga memergoki naturalisme ala psikologi yang reduksionis. Naturalisme di sini didenotasikan pada psikofisika, psikobiologi, psikofisiologi, yang berjubah psikologi: yang kita temukan dalam psikologi behavior dan dalam sebagian implemen tadi ada pada psikoanalisa.

Psikologi bisa dianggap bukan ilmu kejiwaan, melainkan ilmu kover dan jasad yang dideteksi melalui permukaan naturalitasnya—ini merupakan reduktif, setidaknya, dalam lensa Husserl. Dari krisis inilah “filsafat rigoris” ala Husserl menemukan lokus sepak-terjangnya, yang tidak lain bernomenklatur “fenomenologi”.

Gebrakan Husserl dalam mengonstruksi “filsafat rigoris” menenggelamkannya untuk meradikalisasi filosofi, yakni merongrong pada sumbernya, orisinalitasnya, akarnya (radix), atau permulaan primordialnya dari segala ragam epistemik; yang selama ini kita pakemkan dan kita anggap finalitas.

Epigram Husserl yang hiruk kita dengar adalah zu den sachen selbst (kembali kepada realitas itu sendiri), yakni merongrong kembali pada objeknya: wende zum gegenstand. Di sinilah kita menyadari, seperti Husserl, dalam perongrongan terhadap objek berarti akan ada hegemonika dari subjek, yang akan melegitimasi iya-tidaknya untuk intervensi penilaian atas objek tersebut.

Dari titik ini, Husserl banting setir, bahwa ralitas objek itu sendiri (realities per se) berbalik kepada si subjek, inilah yang disebut Husserl dengan “subjek transendental”, untuk memebedakan dengan subjektivitas yang hegemonik.

Kembali kepada realities per se menuntut direksi(onalisasi) tanpa mediasi pada objeknya sendiri, agar subjek dalam merongrong eidos (esensi) tidak diselubungi oleh prasangka purba yang menghinggap secara stigmatif. Langkah-langkah metodis inilah yang disebut Husserl sebagai reduksi dalam ancang fenomenologinya: subjek musti “menunda” atau menyimpannya dalam tanda kurung, einklamerung. Lalu yang tertandakurungkan harus dilakukan erlebnis (penghayatan).

Maka mulai dari sekarang, akan penulis “tandakurungkan” {tulisan ini}, sehingga pembaca harus menghayati {tanda kurung}-nya dengan erlebnis, biar tulisannya akan berbicara sendiri—karena: seorang penulis harus tutup mulit ketika tulisannya mulai berbicara.

{..., ..., ...}, ...

[................],

(                       ).

 

Posting Komentar

0 Komentar