Seorang anak kecil berkata, “Apa yang akan terjadi jika kita meninggal?”
“Yang akan
terjadi?” kaget Virginia. “Kita akan kembali ke tempat kita berasal.”
“Aku tak ingat
dari mana asalku,” balas anak kecil.
“Aku juga,” timpal
Virginia.
“Dia [burung yang
mati itu] terlihat sangat kecil.”
“Ya. Ya, itu juga
salah satu hal yang terjadi jika kita meninggal. Kita akan terlihat kecil,”
kata Virginia.
“Tapi penuh
kedamaian,” balas anak kecil.
Begitulah
penggalan dialog yang amat mengena dalam film The Hours (2002). Banyak
para pengulas menganggap film ini hanya menyoroti perilaku lesbian. Barangkali
itulah ketergesa-gesaan dalam membaca eksplisitasi sebuah film.
Film ini mengisahkan tiga plot dalam rentang era yang berbeda. Sussex, England 1941: mengisahkan kisah seorang novelis perempuan bernama Virginia. Los Angeles 1951: mengisahkan Laura Brown, seorang perempuan berkeluarga. New York, 2001: mengisahkan Calarissa, seorang perempuan yang diapresiasi Richard dalam sebuah novelnya. Namun, rentang era yang berbeda itu tidak mengganggu sang pemilik ide untuk mengimplisitkan grand narrative dalam film The Hours.
Sangat menantang, untuk mengguncang kesadaran mainstream kita yang merasa selalu “terberi” (given) begitu saja ihwal “jati diri”. Film ini memang sebuah film yang sarat atau kental dengan penghayatan eksistensial. Bukan hanya seakadar menanyakan “apa makna hidup” dan “bagaimana sikap seseorang agar ja-sagen (meng-iya-kan) sebuah kehidupan”, melainkan juga dengan lembut menggugat “mengapa seseorang harus mati”.Virginia Woolf,
seorang novelis perempuan, mencari ide untuk membunuh pahlawan dalam novelnya.
“Mengapa seseorang
harus mati?” tanya Leonard. “Dalam bukumu, kamu bilang seseorang harus mati.”
“Seseorang harus
mati, agar yang tersisa hidup di antara kita bisa menghargai kehidupan. Itu
adalah hal yang kontras,” jawab Virginia.
“Lalu siapa yang
akan mati?” desak Leonard.
“Sang pujangga.
Sang pengkhayal,” jawabnya.
Film ini tidak
mudah ditonton hanya sepintas mata. Sebab, penonton akan diajak bersusah-susah
untuk menangkap benang merah film tersebut yang diimplisitkan sang sutradara
melalui kesederhanaan cerita yang mengandung kompleksitas tafsiran.
“Hati perempuan sedalam samodra,” begitulah terang sebuah aforisme. Unsur feminin dalam film ini amat menonjol, dilukiskan dengan ketiga tokoh utama dalam membedah hidupnya. Femininitas dalam film terlihat melalui ajakan untuk ikut mengalami kesukaran memahami “hati seorang perempuan”, dengan apa seorang perempuan menyikapi kebahagiaan (eudaemonia), bagaimana ia bersejajar dengan realitas, berdialog dengan dilematika, hingga membawa risiko tragis dalam kehidupannya yang dramatis.
“Leonard, menataplah dengan penuh kehidupan di wajahmu! Selalu menataplah dengan penuh kehidupan di wajahmu. Dan ketahuilah untuk apa hidupmu. Pada akhirnya, kamu akan tahu, untuk mencinta. Itulah tujuannya. Dan kemudian, untuk melepaskannya,” epilog dari Virginia Woolf.[]
^Ditulis pada 25/5/2018
0 Komentar