Ad Code

Responsive Advertisement

Harus ke manakah aku menjejakkan “peristiwa”?

Syahdan, acap kali aku menyangkal rupa yang telah temara, berlari secara sengaja ke bagian yang entah, menjelajah rimba yang belum tentu tapaknya: lari darimu yang tak acuh laguku.

Dengan tak berkompas, arahku mengelupas. Terbirit-birit dikejar peristiwa, aku mengendus tanah, mencari tanda lain yang aku sendiri belum tentu dapat menjamah. Dan terhadap rupa pertama itu, aku tidak jemu, menunggu, tetap menyanyikan “(w) a k (t) u”.

Untuk kembali ke tapak di mana aku bisa mendapatimu sebagai “kiblat yang bergerak”, aku tak berani bertolak, tertahan oleh kibas angin yang kautiupkan dengan rancak: kautitipkan pesan yang membuatku beringsut-ingsut, pancangku larut. Namun, ketahuilah Deru, aku tak kunjung jemu, terus memandang kelebatan rupa itu, melalui berbagai tanda yang berlalu.

Siapkah kaujumpai aku sebagai kamu? Kiranya malang, aku masih takut bukan alang kepalang, kalau-kalau nyatanya aku tak dapat merangkul bayanganku sendiri yang tinggal sedekapan.

Harus ke manakah aku menjejakkan “peristiwa”?

*2/5/2021

Rene Magritte, The False Mirror, Paris, 1929



Posting Komentar

0 Komentar