Ad Code

Responsive Advertisement

Posisi KBBI di antara kamus aturan, kamus rekaman, dan kemunculan kata

Aku tidak pernah tidak tertawa dalam batin saat seorang menyergah, “Kata itu tidak ada.” Kata “kumprit”, misalnya, memang tidak ada, tetapi jika sebuah kata digunakan secara teratur oleh sejumlah orang atau banyak orang, maka kata tersebut kemudian niscaya menjadi ada.

Asalkan sebuah kata dapat menempati posisi di atas dan menyesuaikan diri dengan aturan gramatikal tertentu, simbsalabim: rangkaian huruf yang asing dan aneh tersebut menjadi sebuah kata. Ia valid secara sempurna sebagai leksikon.

Semua kosakata yang kita punya adalah buatan, beb, buatan manusia, bukan sudah tersimpan di dalam tanah. Para ahli linguistik tidak sekonyong-konyong membawa cangkul dan menggali tanah di depan rumahnya, kemudian berteriak lantang ke penjuru kampung, “Lihat! Ada kosakata!”

Jadi, saat seseorang ngotot “lho kata tersebut tidak termaktub di dalam kamus”, seharusnya yang ia maksudkan adalah “kamus rekaman”, bukan “kamus aturan”! Kata “ortagrel”, misalnya, satu dekade lalu belum muncul. Bahkan sebelum aku menulis ini, kata tersebut juga belum muncul.

Coba cek saja kata “fankam” di KBBI. Jelas-jelas kata tersebut produk kultur 2000an ke sini di saat gawai pribadi berkamera mulai bertebaran. Artinya, sebelum gawai berkamera dan handycam dimiliki massal (mungkin sekitar tahun 80an), kata “fankam” belum ada, bahkan sebagai konsep belum terpikirkan sebagai kata.

KBBI itu produk kebudayaan berbahasa kita belaka, bukan produsen. KBBI sama sekali tidak bisa dijadikan tolok ukur maha multak yang mengawasi kebudayaan berbahasa kita, sebab setiap kata berasal dari kita, bukan dari kamus bahasa.[]

*28/12/2022



Posting Komentar

0 Komentar