[1]
Kecerdasan buatan menjadi semakin maju, dan mungkin di
masa depan, ia secara efektif akan dapat menggantikan manusia dalam banyak
tugas.
Banyak yang melihat kecerdasan buatan sebagai
peningkatan kemampuan manusia, tetapi yang lain memprediksi sebaliknya—bahwa
ketergantungan manusia yang meningkat pada jaringan berbasis mesin akan
mengurangi kemampuan manusia untuk berpikir sendiri, bertindak secara
independen dari sistem otomatis, dan berinteraksi secara efektif dengan orang
lain.
Pertanyaannya: “Apakah menurut Anda kemajuan dalam
kecerdasan buatan dan sistem teknologi kemungkinan besar akan menambah dan
memberdayakan manusia pada tahun 2030? Artinya, dalam banyak kasus, apakah
kebanyakan orang akan menjadi lebih baik daripada sekarang? Atau mungkinkah
kemajuan dalam kecerdasan buatan dan sistem teknologi akan mengurangi otonomi
dan agensi manusia ke titik di mana kebanyakan orang tidak akan lebih baik
daripada sekarang?”
Dampak kecerdasan buatan pada kemanusiaan sebagian
besar masih belum diketahui, tetapi para ahli telah mengusulkan visi utopia dan
distopia tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Beberapa ahli percaya
bahwa itu akan membawa masyarakat pada distopia di mana mesin menguasai dunia,
sementara yang lain percaya bahwa itu akan mengarah pada masyarakat utopis di
mana manusia dan mesin hidup bersama dalam harmoni.
Salah satu visi utopis paling populer menyebut kecerdasan
buatan sebagai semacam “tuhan” yang baik hati. Sebaliknya, dalam cerita fiksi
ilmiah distopia, kecerdasan buatan digambarkan menghancurkan semua kehidupan di
Bumi, seperti dalam film I, Robot atau novel 1984. Ini adalah
contoh fiksi ilmiah naratif yang menceritakan kisah fiksi tentang kemungkinan
masa depan. Akan tetapi, keduanya tidak serta merta mewakili pandangan atau
pendapat para ilmuwan atau pakar.
Beberapa futurolog percaya bahwa kecerdasan buatan dapat
menciptakan utopia dengan memberikan layanan yang efisien kepada semua orang,
sementara yang lain khawatir hal itu dapat menyebabkan distopia di mana mesin
mengambil alih hidup kita. Walaupun demikian, kecerdasan buatan memiliki
potensi untuk membentuk kembali masyarakat dan ekonomi kita di tahun-tahun
mendatang. Seiring kemajuan teknologi, kita akan melihat integrasi yang lebih
besar antara manusia dan mesin di tempat kerja. Hal ini mengarah pada
peningkatan penggunaan otomatisasi, pembelajaran mesin, dan peningkatan
kemampuan manusia.
Berdasarkan pada kondisi saat ini, sulit untuk
memprediksi sepenuhnya secara presisi bagaimana kecerdasan buatan akan
memengaruhi masyarakat kita di tahun-tahun mendatang. Saat ini, kecerdasan
buatan masih dalam tahap awal yang belum diketahui perihal dampak jangka
panjangnya terhadap kehidupan dan masyarakat kita. Namun, amat penting untuk
mempertimbangkan etika penerapan kecerdasan buatan di tempat kerja.
Kita harus menyadari bagaimana kecerdasan buatan dapat
digunakan dengan cara yang etis, dan bagaimana kita dapat memastikan bahwa kecerdasan
buatan mematuhi standar etika, undang-undang, dan peraturan.
Selain itu, penting untuk mengevaluasi potensi risiko
yang terkait dengan penerapan kecerdasan buatan dan menentukan cara
memitigasinya melalui kebijakan dan prosedur yang memadai. Misalnya, sistem kecerdasan
buatan yang dapat mendeteksi kondisi kesehatan mental seseorang dapat digunakan
untuk menandai individu dengan potensi bunuh diri yang tinggi. Namun, risiko
mengidentifikasi secara algoritmik mereka yang membutuhkan bantuan harus
diseimbangkan dengan risiko tidak diterapkannya kebijakan dan prosedur
tersebut.
Selain pertimbangan etis, pertimbangan kebijakan
diperlukan saat menangani penerapan kecerdasan buatan. Pertimbangan ini
mencakup bagaimana sistem kecerdasan buatan memengaruhi hak asasi manusia dan
bagaimana hal itu diatur atas kehidupan orang (termasuk kepatuhan terhadap
undang-undang privasi).
Ada juga banyak kekhawatiran seputar dampak kecerdasan
buatan terhadap pengangguran dan kekacauan sosial, serta masa depan hubungan
manusia. Efisiensi dan keuntungan ekonomi lainnya dari kecerdasan mesin
berbasis kode akan terus mengganggu semua aspek pekerjaan manusia. Sementara
beberapa mengharapkan pekerjaan baru akan muncul, yang lain khawatir tentang
kehilangan pekerjaan besar-besaran, kesenjangan ekonomi yang melebar dan
pergolakan sosial, termasuk pemberontakan populis.
Para ahli memperkirakan kecerdasan buatan jaringan
akan memperkuat efektivitas manusia tetapi juga mengancam otonomi, agensi, dan
kemampuan manusia. Mereka berbicara tentang berbagai kemungkinan; bahwa
komputer telah mengambil alih kecerdasan dan kemampuan manusia pada tugas-tugas
seperti pengambilan keputusan yang rumit, penalaran dan pembelajaran, analisis
canggih dan pengenalan pola, ketajaman visual, pengenalan ucapan, dan
terjemahan bahasa.
Mereka mengatakan “sistem pintar” dalam komunitas,
dalam kendaraan, dalam bangunan, dalam pertanian dan dalam proses
bisnis akan menghemat waktu, uang, dan nyawa serta menawarkan peluang bagi
individu untuk menikmati masa depan yang lebih indah.
Penting bagi kita untuk mempertimbangkan cara terbaik
menggunakan kecerdasan buatan agar dapat bermanfaat bagi umat manusia sebanyak
mungkin. Kita harus mengenali potensinya untuk konsekuensi baik dan buruk serta
mengembangkan strategi untuk mengelola penggunaannya secara bertanggung jawab
dan efektif.
—————————
[2]
Garis pemisah di atas saya gunakan untuk memberi
aba-aba yang menandakan bahwa tulisan pertama selesai dan tulisan kedua
dimulai.
Tulisan kedua ini, yakni tulisan saya, ingin menyoroti
tulisan pertama di muka. Teman-teman pasti bertanya, “Loh kenapa
menyoroti tulisanmu sendiri?”
Tidak. Tulisan pertama bukanlah tulisan saya, dan juga
tidak copy-paste dari tulisan orang lain. Tulisan pertama di muka
bukanlah paparan yang ditulis bahkan oleh manusia. Yah! Tulisan di muka
dielaborasi dan dinarasikan oleh “kecerdasan buatan”. Saya hanya
menginstruksikannya, memasukkan beberapa kata kunci, dan kecerdasan buatan
menghasilkan semua tulisan pertama di muka dalam beberapa detik—kemudian saya
hanya menyuntingnya agar dapat dibaca lebih nyaman.
Bagaimana rasanya saat Anda tahu bahwa tulisan pertama
bukanlah tulisan saya, maksud saya bukan tulisan seorang manusia? Tentu agak terhenyak dan nanap, kan? Hal semacam ini telah terjadi sejak penciptaan EMI (Experiments
in Musical Intelligence) oleh David Cope pada tahun 1983. Cope merupakan
profesor musikologi di University of Califorania di Santa Cruz sekaligus tokoh
kontroversial dalam dunia musik klasik.
Cope menulis program komputer yang dapat menciptakan
konserto, simfoni, dan opera. EMI menjadi karya pertamanya yang dapat
mengimitasi gaya musik klasik ala Johann Sebastian Bach. Cope diam-diam
memanggungkan karya itu di hadapan para audiens di festival musik di Santa
Cruz. Para audiens amat mengapresiasi musik klasik karya Cope yang dikira
diciptakan oleh Cope sendiri, oleh manusia. Menurut para audiens, musik gubahan
Cope amatlah menyentuh hati. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa komposisi
musik yang telah mereka dengarkan dan puja-puja digubah oleh seonggok komputer.
Setelah audiens diberi tahu bahwa musik yang mereka
sangka buatan manusia bergaya Bach itu ternyata buatan seonggok komputer,
sebagian dari mereka hanya terdiam nanap, sementara sebagian yang lain
berteriak marah-marah, seperti menyesali kekagumannya sendiri—terhadap program
komputer.
EMI terus berimprovisasi, mengikuti gaya para pesohor
komposer klasik, Beethoven, Stravinsky, Chopin, dan Rachmaninov. Album pertama
program komputer EMI tersebut adalah Classical Music Composed by Computer
(Musik Klasik Yang Digubah oleh Komputer). Bukan tanpa polemik
dan musuh, musik gubahan komputer Cope ditantang oleh salah seorang profesor
lain bernama Steve Larson dari University of Oregon.
Tantangan Larson adalah mengajukan painis profesional
untuk beradu dengan komputer, memainkan tiga komposisi: karya Bach, karya EMI,
dan karya Larson sendiri. Para audiens—yang terdiri dari ratusan penggemar
musik, dosen, dan mahasiswa—hanya bisa mendengarkan, dan kemudian mereka akan
diminta untuk memberi pendapat mengenai tiga komposisi tersebut.
Pada akhir sesi, para audiens memberikan penilaiannya.
Hasilnya adalah audiens mengira bahwa karya komputer EMI adalah karya Bach,
bahwa karya Bach adalah karya Larson, dan bahwa karya Larson adalah karya
komputer EMI. Ini sungguh menghentakkan, terutama bagi jiwa kesenian dan
musikalitas kita semua. Tak dapat dielak, penilaian para audiens yang jujur dan
lurus tersebut mengindikasikan bahwa kita bisa menemukan “jiwa” di dalam musik
gubahan seonggok-komputer-tak-berjiwa.
Peristiwa itu terus mengguncang dan menggoncang
pengalaman artistik dan kreatif kita. Apa bedanya manusia dengan komputer?
Konon yang membedakan adalah yang satu memiliki jiwa kreatif, sementara yang
lain tidak. Akan tetapi, tembok pemisah semacam itu kini sepertinya
sepenuhnya telah roboh.
Anda di awal kali membaca tulisan pertama di muka tentu
saja sama sekali tak menduga bahwa yang menulis bukanlah seorang manusia, bukan
“sesuatu-yang-memiliki-kesadaran”. Tak apa, tak perlu menyesal dan menghardik
kecerdasan buatan. Namun, …
Kita tahu bahwa menulis membutuhkan pengoperasian
kesadaran kita, melihat persoalan lebih dekat, kemudian menjaga jarak untuk
dapat melihat persoalan dari kejauhan, dan mengemasnya dengan menyoroti
tiap-tiap kontur yang telah dipotret. Saya ringkas, menulis adalah mengarahkan
kesadaran pada suatu persoalan. Artinya, yang paling utama bekerja adalah kesadaran
kita yang terarah atau keterarahan kesadaran kita terhadap
sesuatu. Secara fenomenologis, sesuatu itu ada, dan hanya menjadi ada, jika
kita mengarahkan kesadaran kita terhadapnya.
Malangnya, tulisan pertama bukanlah tulisan saya
[bukan tulisan manusia], melainkan tulisan kecerdasan buatan. Pertanyaan
gentingnya, “Apakah kecerdasan buatan memiliki kesadaran?” Kita tak ingin masuk
terperosok ke perdebatan apa itu kesadaran, melainkan saya ingin Anda
menangguhkan sejenak rasa privilese dan bangga bahwa kitalah satu-satunya
makhluk yang memiliki kesadaran.
Satu poin yang ingin saya soroti secara serius ialah implikasi
intelektual dari kecerdasan buatan di dunia pendidikan. Pembaca tahu bahwa
tulisan pertama di muka, yang dinarasikan oleh AI, sepenuhnya bisa dipahami dan
terdengar cukup natural. Lalu, akan bertempat di manakah para (maha)siswa yang
kelak mendapatkan tugas menulis esai dan semisalnya?
Saya sungguh-sungguh khawatir bahwa kita, terutama
anak-anak kita kelak, mereplikasi AI [yang sebelumnya AI mereplikasi manusia], yakni menggunakan kecerdasan AI sebagai
kecerdasan mereka. Tidak ada lagi seorang penulis, dan tak ada lagi yang perlu
menulis—cukup biarkan AI saja yang mengerjakan tugas menjemukan seperti ini,
seperti yang sedang saya lakukan ini, agar manusia bisa santai menikmati FYP
TikTok dan reels Instagram sambil ongkang-ongkang kaki atau rebahan.
Bagi para pengajar dan pendidik, amat sulit untuk bisa mengetahui secara
tepat apakah tugas seorang (maha)siswa adalah pekerjaannya sendiri atau diproduksi
secara automatis oleh AI. Bayangkan jika AI benar-benar telah mendominasi dan menyubjugasi aspek
kreatif dan aspek intelektual kita, terutama mengokupasi serta mengambil alih tugas kita sebagai
pelajar yang diwajibkan untuk menulis esai dan semisalnya.
Apakah masih ada sebintik harapan untuk para (maha)siswa kita
bahwa mereka akan tetap menjadi manusia otonom yang tidak mengandalkan atau
menyerahkan tugasnya kepada AI? Sekaligus mari periksa dengan cermat bagaimana laju zaman di
era sekarang, apakah kita benar-benar masih punya harapan bahwa manusia akan
baik-baik saja? Maksud saya, di era kiwari ini, para (maha)siswa acap kali
menggunakan cara-cara instan untuk mengerjakan tugas mereka. Menulis itu melelahkan:
setidaknya untuk menulis ini saya membutuhkan tidak kurang dari satu jam,
sedangkan AI di tulisan pertama di muka hanya membutuhkan waktu tidak lebih
dari satu menit.
Lalu, AI kini telah cukup canggih untuk menangani pekerjaan semacam itu. Apakah kita yakin bahwa siswa-siswi kita benar-benar masih memiliki dahaga kuriositas, keasyikan belajar, dan kekhusyukan menempa diri untuk membiarkan pikiran dan tangannya sendiri yang mengerjakan—mengingat aktivitas skroling yang merupakan doping dapat memantik dopamin lebih cepat dan instan? Jangan lupa bahwa mereka benar-benar telah berada di situasi di mana mereka bermain game lebih asyik ketimbang membaca, ritual skroling FYP TikTok lebih tekun ketimbang merenung, dan mengunggah foto-foto selbrong (selfie) lebih disiplin ketimbang berhitung.
Kecemasan ini harus menjadi kecemasan kita bersama. Seorang
futurolog legendaris Ray Kurzweil mewanti-wanti, “Kecerdasan buatan ultracerdas adalah
buatan terakhir yang perlu manusia buat.” Artinya, setelah kecerdasan buatan
ultracerdas itu muncul, manusia sama sekali tak perlu berperan, dan bahkan sebenarnya
tak punya peran, lagi di panggung kehidupan ini. Tak bisa dielak dan tak sezarah syak,
teknologi kita sedang merangkak ke sana, sedang mengembangkan kecerdasan buatan
yang ultracerdas. Mari merenungkan ambang batas...[]
/1/3/2023
0 Komentar