Ad Code

Responsive Advertisement

Ruang, Arsitek, dan Seniman

Sejauh ini barangkali kita hanya mengenali “ruang perseptual” yang di dalamnya kita secara fisiologis bermukim dan bergerak. Ini tentu saja ruang yang paling rudimenter bagi kehidupan kita di dunia ini.

Ruang perseptual terbentang sejauh ruang itu dapat dipersepsi dengan indra kita. Namun, ruang semacam ini bukanlah satu-satunya ruang. Para arsitek sebagai manusia memang bermukim di ruang yang sama dengan kita, di ruang perseptual, tetapi ketika mereka membayangkan dan mencandrakan sebuah ruang, ruang itu bukanlah ruang perseptual, melainkan “ruang konseptual”.

Ruang konseptual ini bagi kita tidak nyata di hadapan persepsi basah kita, melainkan ia ada di dalam jagat imajinal (khayāl) sang arsitek. Di sini sang arsitek meneroka dan menyigi sebuah ruang dengan bertumpu pada indra imajinalnya, yang tentu saja kita tak bisa bermukim dan bergerak di dalamnya—berbeda dengan ruang perseptual yang benderang ini.

Ruang konseptual bisa lebih lengkap ketimbang ruang perseptual, sebab melihat watak jagat imajinal yang disigikan oleh arsitek tak melulu terbatas pada dan terbatasi oleh alam fisiologis. Walakin, ruang konseptual bukanlah ruang paling komplit, lantaran kita tak mungkin bisa menemukan “kecemasan”, “kegembiraan”, “kegundahan”, “depresi”, “renjana”, “jatuh hati”, dan sudut-sudut psikis lainnya di dalam, katakanlah, sebuah maket. Artinya, kita masih perlu ruang lain untuk menjumpai hal ihwal yang tak dicakup oleh ruang konseptual.

Untungnya, kita dapat menemukan hal ihwal itu pada “ruang yang dihayati”. Ruang yang dihayati ini dapat kita jumpai, umumnya, pada karya-karya seni dan sastra, di antaranya seperti film (bukan movie), novel, musik, cerpen, lukisan, dan puisi.

Di dalam semua kerja kesenian itu, kita dapat menjumpai “ruang perseptual” kita yang menjadi “ruang konseptual” sekaligus lantas diabstraksikan dan dikonfigurasikan untuk merambah “ruang yang dihayati”. Ruang yang dihayati ini merupakan dua lompatan dari “ruang perseptual” dan “ruang konseptual”.

Perbedaan ruang yang dihayati dari dua ruang lain adalah bahwa ia mendedahkan dan menjembarkan aspek-aspek psiko-sosio-individual, psiko-kultural, religio-filosofikal, mistiko-intelektual, abstraksi-ideasional, eko-spiritual, etiko-moral, dan kosmo-eksistensial, yang dengan keterbukaan diri, pembaca dapat mereguk secangkir kopi percakapan, segelas tindak teh dialogis antara penutur dan penyimak—nahasnya, tak ada es krim di sini. Inilah yang dapat kita sebut “kemesraan interlokutor”.

Sumir kata, kegiatan “membaca”, entah film (bukan movie), karya sastra seperti novel (dari geliat suara masing-masing tokoh) atau puisi (dari ekspresi aku-lirik), dan semisalnya, merupakan titik pijak pertama yang memungkinkan seseorang mendengar, lebih tepatnya “memasuki”, sebuah ruang yang sama sekali berbeda dari “ruang perseptual” yang di dalamnya selama ini kita memijakkan kaki fisiologis kita.

Semakin kita kerap “membaca” suara-suara di dalam ruang-ruang baru, yakni, ruang yang dihayati, semakin kita membiasakan telinga kita menangkap segala nada, entah melodis ataupun kakofonis, yang artinya kita semakin menjadi merasa jembar sebab telah tertempa oleh, dan terlempar ke dalam, segala jenis ruang lain, sang liyan, ruang yang berbeda, ruang yang barangkali sebelumnya kita acap merasa bergidik memasukinya.

Dengan kata lain, semakin kerap memasuki ruang-ruang baru dalam karya sastra/seni, semakin kerap kita mencicipi, mengenali, dan bahkan mengakrabi beragam “rasa bahasa”, beragam “warna wajah”, beragam “langgam sasmita”, dan “beragam kontur nada” yang disingkapkan dan diproyeksikan di dalam “ruang yang dihayati”.[]

*14/10/2022


Posting Komentar

0 Komentar