Sebuta pagi dengan mentari yang menjelajah di
keningmu, cinta, masih gelapkah ini semua, sedang binar yang berpijar telah
menelusuk 'tuk telusuri, saling selusupi satu sama lain? Sebening kopiku yang
pucat berlebam, sehening pula cangkir dari goa tempat para pertapa bersandar
dari perjalanan.
Keledai-keledai para bijaksanawan diparkir di
kedai-kedai pinggiran penyaksianmu. Lihatlah, duh kekasih, raja cahaya yang
membara di tengah pestapora hari, di huru-hara publik, di lalu-lalang kendaraan
yang mencabik-cabik, di perkampungan yang ramai, di alunan debur sisir pantai,
bahkan di kecamuk gemuruh dadamu yang badai.
Kita saling pinang-meminang, dengan sepi dan guruh
rindu; kita saling lamar-melamar, dengan diksi-puisi dan bahasa syahdu.
Teruntuk Layla yang senantiasa kita puja, dengan lagu puji mazmur suci, melalui
seruling yang kita pinjam dari Rumi, langgam dan irama dari raut-raut Nabi
Daud. O! Hidup jadi redup, lalu mati untuk hidup. Muutuu qablal maut! Hanya
proyeksi mimpi besarlah yang belum mati.
Di pangkuanmu, kekasih, kami bersumpah dengan janji,
yang terikat di lentik jemari-tauhid, bahwa tiada yang lain selain kehadiranmu;
tiada wujud lain selain wujudmu; tiada satu pun yang berhak ada kecuali itu
adalah dirimu. Lalu-lalang, huru-hara, derap-lengkingan, ketunggalanmu yang
nyata dalam ciprat keragaman.
Bagaimana aku tak mendaku bahwa aku ini bukan engkau?
Namun, bagaiamana aku mampu mendaku bahwa aku ini engkau? Bila bukan lidah dan
bibirmu itu yang menyatakannya, yang menggoreskannya melalui pena-pena patah, yang
menyanyikannya dalam diwan-diwan para sufi, atau dengan khotbah-khotbah
syahadat murni di tiang gantungan para martirmu.
Biar kami bersaksi dan bernyanyi, O.
^27/7/2018
0 Komentar