Ad Code

Responsive Advertisement

Sebuta pagi dengan mentari yang menjelajah di keningmu

Sebuta pagi dengan mentari yang menjelajah di keningmu, cinta, masih gelapkah ini semua, sedang binar yang berpijar telah menelusuk 'tuk telusuri, saling selusupi satu sama lain? Sebening kopiku yang pucat berlebam, sehening pula cangkir dari goa tempat para pertapa bersandar dari perjalanan.


Keledai-keledai para bijaksanawan diparkir di kedai-kedai pinggiran penyaksianmu. Lihatlah, duh kekasih, raja cahaya yang membara di tengah pestapora hari, di huru-hara publik, di lalu-lalang kendaraan yang mencabik-cabik, di perkampungan yang ramai, di alunan debur sisir pantai, bahkan di kecamuk gemuruh dadamu yang badai.

Kita saling pinang-meminang, dengan sepi dan guruh rindu; kita saling lamar-melamar, dengan diksi-puisi dan bahasa syahdu. Teruntuk Layla yang senantiasa kita puja, dengan lagu puji mazmur suci, melalui seruling yang kita pinjam dari Rumi, langgam dan irama dari raut-raut Nabi Daud. O! Hidup jadi redup, lalu mati untuk hidup. Muutuu qablal maut! Hanya proyeksi mimpi besarlah yang belum mati.

Di pangkuanmu, kekasih, kami bersumpah dengan janji, yang terikat di lentik jemari-tauhid, bahwa tiada yang lain selain kehadiranmu; tiada wujud lain selain wujudmu; tiada satu pun yang berhak ada kecuali itu adalah dirimu. Lalu-lalang, huru-hara, derap-lengkingan, ketunggalanmu yang nyata dalam ciprat keragaman.

Bagaimana aku tak mendaku bahwa aku ini bukan engkau? Namun, bagaiamana aku mampu mendaku bahwa aku ini engkau? Bila bukan lidah dan bibirmu itu yang menyatakannya, yang menggoreskannya melalui pena-pena patah, yang menyanyikannya dalam diwan-diwan para sufi, atau dengan khotbah-khotbah syahadat murni di tiang gantungan para martirmu.

Biar kami bersaksi dan bernyanyi, O. 

^27/7/2018


Posting Komentar

0 Komentar