Ad Code

Responsive Advertisement

Secara garis besar, Derrida menolak “metafisika kehadiran”

Secara garis besar, Derrida menolak “metafisika kehadiran” yang dalam bentang filsafat berpusat pada logosentrisme. Logosentrisme diusut berasal mulai dari Plato hingga berpuncak pada Saussure. Saussure merepresentasikan logos pada fonem. Bagi Saussure, fonem dapat menghadirkan logos secara langsung dan sempurna, sehingga “kebenaran dapat dikendalikan” (pendanda dan petanda/tinanda) oleh otoritas penuturnya.

Secara tegas, Saussure menghamparkan oposisi biner antara tuturan dan tulisan; yang pertama menghegemoni yang kedua sebagai yang-marginal. Derrida menolak itu, mengangkat yang marginal dan mengenyahkan yang hegemonial.

Dekonstruksi mencoba merobohkan segala kekuatan yang direngkuh oleh subjek (subjectum). Begitu pula dalam tulisan, otoritas subjek tak mampu menaklukkan telos-makn—dibuktikan oleh Plato yang berkisah tentang Raja Thamus dan Cendekia Theuth (Fayyadl, 2005: 83-85). Aku membaca ini seolah Derrida menunjukkan bahwa Plato pun sebagai pengarang/penulis tidak punya daya untuk mengangkangi telos makna, dan itu berarti merobohkan archai (muasal) dan origin penanda-petanda yang dibubuhkan oleh pengarang. Sebab bagi Derrida, “tak ada sesuatu di luar teks,” … dan teks selalu intertekstual.

Pengarang tak punya klaim kebenaran. “Pada prinsipnya teks bersifat intertekstual dan berjalin-kelindan dengan teks-teks lain yang tidak pernah selesai berproses, ad infinitum … Telos teks yang intertekstual merupakan bentuk lain dari the impossible possibility” (Fayyadl, 2005: 68).


Derrida senang melakukan différance untuk menangguhkan telos ultim dari suatu teks. Pembacaannya selalu terbarukan dan terbarukan terus. Orisinalitas teks yang dikendalikan pengarang (penutur: dalam fonosentrisme Saussurian) dikacaukan, karena dekonstruksi menganggap fondasi kebenarantunggal tergoyang. Pengangkangan atas telos bagi pengarang tidak dimungkinkan lagi.

The Father of Logos (Raja Thamus) sebagai pengendali kebenaran dikoyak habis-habisan, karena operasi différance, selain menangguhkan, adalah “merayakan keberlainan”. Dalam arti lain, The Father of Logos (pengarang) disangsikan (dibunuh) otoritasnya dalam mengendalikan kebenaran (Bdk. Fayyadl, 2005: 90-96), sebab teks selalu intertekstual, dan dari sanalah perbedaan dirayakan.[]

26/5/2018

Posting Komentar

0 Komentar