—Untuk nun-‘ayn-kha’,
Inilah lilin kejahilan yang harus ditiup dan kue hijab yang harus dipotong—
—oleh Anggarifka yang semoga senantiasa kaubaca...
Kekasih, tataplah cermin. Di sana engkau memandang
dirimu sekaligus bukan dirimu. Yang di cermin adalah dirimu dan—ingat!—sekaligus
bukan-dirimu. Cinta adalah dua tangan yang bertepuk: di satu sisi tanganmu sendiri
dan di sisi lain adalah tanganku yang-bukan-tanganmu.
Cermin menghamparkan kita penjelasan perihal misteri
dari misteri, hatinya hati. Dirimu yang di dalam cermin ialah dirimu yang di
luar cermin, dan perhatikan bahwa yang satu memantulkan yang lain, yang satu
memantulkannya menjadi yang lain, yakni bahwa tangan kananmu memantul
menjadi tangan kirimu dan tangan kirimu memantul menjadi tangan kananmu. Ini
adalah rahasia yang teramat sangat jarang dibicarakan.
Alam raya adalah cermin al-Haqq (mir‘at Allah),
di mana pun mata kita menjala, di sanalah ikan-ikan makna terbuka. Lihat parasmu
yang di dalam cermin—perhatikan dengan teliti! Paras siapakah itu? Tentu
saja itu parasmu, di satu sisi, tetapi sebetulnya ia bukan parasmu, di sisi
lain.
Bentuk-bentuk alam raya dan seisinya tak pernah lebih
dari “paras-yang-di-dalam-cermin”, sehingga bahkan paras aslimu bukanlah
parasmu. Pada makna asalinya, parasmu adalah paras-Ku yang becermin di depan Cermin
Realitas (mir‘ah al-haqiqah), karena sarwa alam raya adalah manifestasi (tajalli/penampakan)
dari-Ku, Rabb semesta alam.
Perhatikan kembali cermin di
depanmu. Relasi
ontologis antara engkau-yang-di-luar-cermin dan engkau-yang-di-dalam-cermin
bagaikan hubungan antara makanan (al-ghidhā’) dan yang memakan (al-mutaghadhdhi). Pada satu aspek engkau-yang-di-dalam-cermin
adalah makanan bagi engkau-yang-di-luar-cermin, dan pada aspek lain engkau-yang-di-luar-cermin
menjadi makanan bagi engkau-yang-di-dalam-cermin. Jadi, pada saat yang sama,
keduanya sama-sama menjadi makanan sekaligus yang memakan secara resiprokal.
Begini
penjelasannya, kekasih. Pertama, engkau-yang-di-luar-cermin memakan engkau-yang-di-dalam-cermin
bila ditinjau dari aspek bahwa tidak ada manifestasi bagi engkau-yang-di-luar-cermin
kecuali dalam bentuk kreatif perbuatan memakan dengan sifat-sifatnya. Tidak ada
keberadaan bagi engkau-yang-di-luar-cermin tanpa keberadaan engkau-yang-di-dalam-cermin.
Maka engkau-yang-di-luar-cermin memiliki makanan dan makanan tersebut adalah
wujud engkau-yang-di-dalam-cermin.
Kedua, engkau-yang-di-dalam-cermin
memakan engkau-yang-di-luar-cermin bila ditinjau dari aspek bahwa wujud engkau-yang-di-dalam-cermin
sepenuhnya bergantung pada wujud engkau-yang-di-luar-cermin, sehingga engkau-yang-di-dalam-cermin
menjadi lokus/wadah manifestasi (tajalli) dari engkau-yang-di-luar-cermin,
dan melalui engkau-yang-di-dalam-cermin, engkau-yang-di-luar-cermin menampakkan
diri. Jadi, engkau-yang-di-luar-cermin adalah rezeki
yang dilimpah-ruahkan pada keberadaan engkau-yang-di-dalam-cermin dan
makanannya adalah wujud.
Dari simbolisme makanan dan
yang memakan ini kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting. Pertama,
kita tahu bahwa makanan meresap ke dalam tubuh yang memakannya, ke keseluruhan
tubuh, bukan ke bagian-bagian tertentu dari tubuh. Sehingga, makanan menyatu ke
dalam tubuh. Dalam pengertian ini, engkau-yang-di-luar-cermin dan engkau-yang-di-dalam-cermin
menjadi satu.
Kedua, kita tahu bahwa
kelangsungan hidup sesuatu yang memakan benar-benar bergantung pada makanan.
Bila tidak ada makanan, ia tak akan hidup, tak bertahan, dan tidak mewujud.
Dalam pengertian ini, engkau-yang-di-luar-cermin memakan engkau-yang-di-dalam-cermin
agar engkau-yang-di-luar-cermin dapat tampak dalam bentuk-bentuk engkau-yang-di-dalam-cermin.
Tanpa engkau-yang-di-dalam-cermin sebagai makanan engkau-yang-di-luar-cermin, maka
engkau-yang-di-luar-cermin tidak bisa tampak di seluruh permukaan cermin.
Juga sebaliknya, engkau-yang-di-dalam-cermin
memakan engkau-yang-di-luar-cermin agar engkau-yang-di-dalam-cermin menerima
wujud dari engkau-yang-di-luar-cermin. Tanpa engkau-yang-di-luar-cermin sebagai
makanan engkau-yang-di-dalam-cermin, maka engkau-yang-di-dalam-cermin tidak
memiliki wujud.
Ketiga, ini yang penting
ditekankan, bahwa engkau-yang-di-luar-cermin dan engkau-yang-di-dalam-cermin memiliki
peran yang sama secara resiprokal, dan keduanya saling mengandaikan satu sama
lain: tanpa yang pertama, yang terakhir menjadi tidak mungkin, dan juga tanpa
yang terakhir, yang pertama menjadi tidak mungkin. Keduanya sama-sama memakan
dan dimakan, memberi dan menerima, dan menjadi tempat bergantung satu sama
lain.
Maka, jika kamu melihat
dirimu sendiri, kamu akan nanap dan tertegun dan berceletuk, “Di hadapan cermin,
siapa memandang siapa?!”
Pandanglah kembali
dirimu di dalam cermin—apa yang engkau tatap? Apakah kamu melihat sebuah tubuh
yang tetap, ajek, konstan, dan begitu-begitu saja? Memang demikianlah yang dapat
dipandang mata lahiriah kita.
Kekasih,
Tuhan memanifestasikan (mewujudkan) diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang tak
berhingga, dan bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama, dan memang tidak akan
pernah sama, dan bahkan dalam satu bentuk tidak akan pernah mengalami pengulangan
yang sama. Karena kita tahu bahwa alam temporal ini terus berubah, dibawa dari
satu keadaan ke keadaan yang lain, dan inilah mengapa Ibn ‘Arabi, salah seorang
sufi terbesar abad ke-13, menyatakan bahwa segenap yang ada di alam akan secara
konstan berubah setiap waktu tanpa pernah ada jeda, kendati terus-menerus tampak
sangat mirip.
Keadaan
alam ini akan berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, terus-menerus, dan inilah
yang disebut sebagai penciptaan baru (khalq jadid)—“Maka apakah Kami letih dengan
penciptaan yang pertama? (Sama sekali tidak) bahkan mereka dalam keadaan
ragu-ragu tentang penciptaan yang baru” (QS. 50: 15).
Ibn ‘Arabi menunjukkan bahwa
proses tajalli (manifestasi-diri Tuhan) itu benar-benar aktivitas rutin
dari Tuhan. “Apa yang di langit dan di bumi selalu
meminta kepada-Nya. Setiap saat (yawm) Dia dalam kesibukan” (QS. 55: 29). Yang di langit dan di bumi selalu meminta “makanan”—sebagaimana
telah kita singgung di muka. Di samping itu, dalam ayat tersebut, ada dua
istilah penting yang perlu kita soroti sebentar.
Pertama, istilah
yawm (saat) yang mengacu pada satuan waktu atomik atau titik waktu
terkecil (al-zamān
al-fard), unit waktu terkecil yang tidak dapat dibagi
atau dipecah lagi. Dan yang kedua, al-sha’n (kesibukan) yang mengacu
pada keterlibatan Tuhan di dalam setiap degup gerak dan perubahan realitas indrawi
dan non-indrawi ini secara kontinu.
Relasi keduanya menjangkarkan pemahaman mendasar
bahwa tajalli Tuhan itu terus-menerus baru di setiap penanda ruang-waktu
(omni-presently). Dengan sederhana, berdasarkan ayat tersebut, kesibukan
Tuhan setiap waktu adalah bertajalli yang secara terus-menerus
menyebabkan perubahan-perubahan tanpa henti di alam semesta dan seisinya, di
dalam diri manusia beserta setiap lorong pikiran dan batinnya.
Dalam Fusus al-Hikam, Ibn ‘Arabi mengatakan, “Tuhan bertajalli dalam
setiap napas dan bahwa tidak ada tajalli (manifestasi) yang diulangi…
Setiap tajalli sekaligus merupakan penciptaan [baru] dan memusnahkan
yang lain [yang lama]. Pemusnahannya adalah terpaan pelenyapan di hadapan tajalli
[baru]. Penghidupan selanjutnya ialah apa yang diberikan oleh tajalli
berikutnya; jadi pahamilah.”
Dengan demikian, penciptaan
ini bukanlah sekali jadi, bukan sebagai ledakan big bang atau firman “kun”
dan semuanya telah rampung pada satu waktu tertentu sebagaimana dipahami dalam
teologi/agama dan sains. Dalam pandangan orang-orang yang telah menyingkap hijab
(ahl al-kasyf wa al-wujud), penciptaan atau tajalli ini terjadi
terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir, “yang selama-lamanya ada dan akan
selalu ada” (al-dā’īm alladhī lam yazal wa lā yazal).
Aku tahu kamu tidak punya
korek api, maka nyalakan kompormu dan perhatikan apinya. Kontinuitas yang kamu
lihat itu tidak lain merupakan kontinuitas tajalli yang dihasilkan dari kenyataan
ontologis bahwa ketika Tuhan menghilangkan sesuatu, Dia kemudian
menciptakaannya lagi, dan apa yang Dia ciptakan (manifestasikan) memang tampak
sangat mirip (sekalipun tidak identik) dengan apa yang dihilangkan sebelumnya
oleh-Nya.
Artinya, kamu tidak akan pernah
melihat api yang sama pada setiap penanda-waktunya. Bagi orang-orang yang telah
menyingkap hijab, mata kita sebetulnya sedang tertipu, lantaran sesungguhnya
nyala api yang kita lihat ajek dan konstan tersebut pada hakikatnya sedang
lenyap dan muncul, lenyap dan muncul, lenyap dan muncul, lenyap dan muncul—meskipun
terlihat ajek dan konstan. Nyala api tersebut berubah, sebagaimana tajalli
terus terjadi dan berubah sekaligus mengubah: nyala api lenyap dan
langsung seketika disusul oleh nyala api lain yang baru, yang
kemudian lenyap dan lekas disusul oleh nyala api yang lebih baru,
terus-menerus, tak berkesudahan.
Pandanglah dirimu, kekasih,
di hadapan cermin. Betapa engkau lenyap dan muncul yang baru, lenyap dan muncul
lagi yang lebih baru, dan terus-menerus seperti itu. Jadi, penciptaan Tuhan
terhadap dirimu tidaklah pada satu waktu, pada tanggal dan bahkan menit serta detik
tertentu, dan kemudian beres dan tuntas semuanya. Penciptaan Tuhan terhadap dirimu terjadi
terus-menerus dan tunak, lenyap dan muncul yang baru, lenyap dan muncul yang lebih baru,
dan seterusnya, dan itu terjadi lebih cepat dari kerjapan netramu sendiri.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang ulul albab, yaitu orang-orang yang mengingat [berzikir] Allah[-Allah-Allah] entah sedang berdiri, sedang duduk, atau sedang berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini secara sia-sia...’” (QS. 3: 190-191).[]
*28/3/2023
0 Komentar